Mendung
rupanya menggemuruh di ujung langit. Angin yang meniupkan awan itu dengan
berani-beraninya menunjukkan sikap yang tak bertanggung jawab. Namun, apa yang
terjadi kemudian adalah bukan menjadi kehendak angin yang dengan keras berusaha
mendorongnya.
Apa yang
terjadi?
Di balik
timur gunung itu memuntahkan cahaya kuning gemerlap. Mendung itu pun lari
tersentak melihat cahaya mentari pagi itu. Meskipun telah lari, jejak yang
diberikan oleh mendung itu terlihat oleh mentari. Entah, mentari marahkah
dengan keadaan yang demikian.
Embun yang
bersahaja itu serasa menemani dinginnya pagi sebelum cahaya mentari yang mulai
bersinar. Kabut yang melayang-layang riang seperti memberi kesempatan pagi yang
segar itu belum akan berujung panasnya mentari. Udara memang bersih namun apa
yang ditimbulkan adalah dingin yang berlebih.
Dingin
tanpa ujung itu memberi kesan indah bagi burung sriti yang terbang seolah tak
memperdulikan apa pun kecuali sarangnya di bawah atap rumah-rumah penduduk.
Burung itu terkejut, kenapa orang-orang di rumah masih terpejam matanya, masih
terpejam mata hatinya yang terlelap dengan mimpi-mimpi indah.
Burung sriti
itu terpaksa berlari setelah dari kejauhan terdengar derap kaki kuda yang
berderap kencang. Hanya seekor kuda dengan pengendara yang amat menyesalkan.
Biasanya debu mengepul mengejar larinya kuda, namun sekarang tidak ada apa-apa
di belakang kuda yang berderap kencang itu.
Setelah
semakin dekat.
Warga
daerah tersebut tergugah dengan derap kuda yang begitu keras. Kerasnya hingga
dapat memecahkan keheningan pagi. Tidak hanya keheningan yang terpecah, namun
kecemasan warga pun terpecah. Ibu meminta kejantanan suaminya, sedangkan anak
meringkul kedua kaki orang tuanya. Ketakutan itu terus saja membayang hingga
suara derap orang berkuda itu lepas di tapal desa.
Kini
giliran burung cataka atau rajawali yang melenggang diangkasa mencari sarapan
pagi di pasar, jika ada. Kini mata yang tercipta tajam di burung itu
memerhatikan dari sebuah arah dengan penuh pengharapan. Harapan dari arah
itulah sang makanan pembuka hari keluar. Namun ketika muncul sosok berkuda,
rajawali itu murung tujuh kepurung. Dengan tajam ia perhatikan orang itu.
Sosok
orang yang belum dikenali oleh cataka itu. Dari kudanya saja telah terbukti bahwa kuda
itu memang kuda pilih tanding, kuda pilihan. Tentunya saja orang yang memilih
itu pun bukan orang sembarangan. Dari cara berkudanya pula menandakan bahwa
orang yang berkuda itu bukanlah orang awam.
Orang itu
bertubuh tegap dengan dada yang membusung jantan. Bajunya yang berbatikkan
bunga kenanga sedang mekar dengan ikat kepala yang menggambarkan dirinya adalah
orang penting dari kelembagaan keprajuritan. Tapi keanehan terjadi, orang itu
menyelipkan bunga melati diantara ikat dan telinga. Dia bernama Mandaraka.
Kemana
tujuan orang yang bernama Mandaraka itu pergi?
Ada sebuah
bangunan tua di ujung jalan yang tertempuh Mandaraka. Dan tepat disanalah
Mandaraka akan singgah dengan sebuah keperluan yang tak pernah di duga
sebelumnya. Bangunan itu berdiri dengan corak jogjo yang khas. Entahlah apa
guna bangunan seperti ini di tempat seperti ini. Untuk mengamati pergerakan
magma yang mungkin saja keluar dari puncak gunung itu.
“Mandaraka,”
bisik yang terdengar di gendang telinga Mandaraka.
Mandaraka
terkejut, namun tidak untuk mengurangi kecepatan laju tunggangannya. Satu yang
membuat Mandaraka memelankan laju kudanya karena bisikan itulah yang berasal dari
bangunan itu. Bisikan yang terpesan dari guru kanuragannya di tempat ini.
Bisikan itu pula ilmu yang diajikan oleh gurunya.
Semakin
dekatlah Mandaraka dengan bangunan itu. Bangunan yang cukup tua, sebagai tempat
mengamati pergolakan magma dari dalam perut bumi. Dan guru Mandaraka itulah
pewaris ilmu dari leluhurnya untuk menjaga Gunung Merapi.
Orang yang
telah cukup umur untuk membaur menjadi tanah lagi, berjalan menuruni beberapa
anak tangga di bangunan itu. Satu persatu terlewat dengan jalan yang cukup
tertatih. Mandaraka yang menyaksikan itu segera meloncat dari punggung kuda
tunggangannya. Gerakan yang cukup gesit menyebabkan Mandaraka segera bersanding
di tubuh gurunya.
“Kakang
Haruna!” teriak Mandaraka.
“Haruna
sedang di puncak gunung Anakmas,” jawab orang tua si samping sang peteriak.
Mandaraka
tersentak dengan ucapan guru yang mengasuhnya itu.
Tanpa
memikirkan jawaban itu, Mandaraka menuntun guru yang membimbingnya saat kecil
untuk duduk di pendapa. Agar leluasa dengan bicara orang tua. Mandaraka sepenuhnya
tahu akan hal kecil itu.
“Hamba
menghadap Guru,” sembah Mandaraka memulai pembicaraan.
Orang tua
itu hanya menganggukkan kepalanya dengan ringan seperti terduyun angin pagi.
“Aku telah
bersepakat dengan Hyang Widdi Yang Esa tentang sebuah tugas amanat yang mungkin
sangat berat bagi mu untuk kau emban,” guru tua itu memulai membicarakan
keperluannya mengundang Mandaraka. Helaan nafas yang panjang membuat paru-paru
orang tua itu terisi penuh dengan udara sesegar pagi kala itu.
“Satu
takdir yang akan membuat diri kamu akan seperti tersiksa oleh kewajiban itu.
Kau akan merasa dirimu kuat namun sejatinya kau tersiksa dengan keadaan seperti
ini. Kau tahu apakah itu artinya?” tutur manusia tua itu.
Mandaraka
yang menyimak dengan cermat menjawab pertanyaan itu hanya dengan menggelengkan
kepala yang menandakan bahwa dirinya tidak mengetahui apa pun.
“Sebuah
takdir itu hanya terdapat pada tangan mu. Namun, aku harus mencampurinya karena
takdir yang semula melekat pada Haruna harus dipindahkan di tangan yang mampu. Dan,
orang yang terpilih itu adalah seorang bangsawan dari sebuah negeri baru,”
jelas orang tua itu.
Timbullah
sebuah pertanyaan dari benak Mandaraka.
“Dan orang
itu hamba, Guru?”
Embun yang
menetes penuh sahaja itu memenuhi semua lapisan teratas dari lantai-lantai di
pendapa tersebut. Seperti yang menjadi kodratnya sejak embun itu tertakdir di
dunia sebagai pelengkap kesejukan hati manakala berada di daerah subur lereng
gunung. Hati mana yang tidak merasakan kesejukan itu ketika memandangi alamnya.
“Benar
Anakmas.”
Sebuah
jawaban yang terlempar dari bibir yang tertakdir untuk berbicara. Ayah dari
anak yang bernama Praba Haruna.
“Kau akan
mengalami sebuah perjalanan hidup yang berbeda Mandaraka. Kau akan banyak
mengalami sebuah fase dimana hidup seorang Mandaraka hanya dibuat seperti
kebingungan karena beban mu berbeda.”
Mandaraka
merasa tercengang mendengar apa yang baru saja ia perdengarkan dari sebuah
perkataan gurunya.
“Apalah
arti dari semua itu Guru?”
Kini
seperti tersindir guru Mandaraka mendengar pertanyaan tersebut.
“Kau harus
mempelajari kembali ilmu-ilmu olah kanuragan Anakmas.”
Mandaraka
mencuatkan alisnya yang semula tenang itu.
“Kau harus
mengusai kembali semua jurus pamungkas dari setiap perguruan kanuragan di tanah
ini. Mempelajarinya kembali akan membuat kau ingat seperti yang pernah kau
lakukan di zaman dahulu.”
Angin pagi
yang mendesis membuat sebagian daun yang kedinginan terpaksa menggugurkan
dirinya sendiri ke tanah. Namun, yang daun itu dapat adalah tanah yang juga
dingin bahkan tanah itu pun berair. Daun yang putus asa itu lantas menangis
sejadi-jadinya sehingga tubuhnya yang dingin itu berair.
Rajawali
yang mengintai Mandaraka sejak di muka jalan, kini mengintai tikus yang sedang
beraksi di luar rumah seorang penduduk. Tatapan tajam dari mata sang rajawali
itulah tikus-tikus yang beraksi tidak bisa menghindar dari ancaman rajawali
yang lapar. Berlari kesana-kemari bukanlah hal yang baik dilakukan oleh tikus-tikus
itu, tetapi hanya bersembunyilah hal yang pantas mereka lakukan saat ini.
Mentari
kian meninggi sesuai dengan jadwalnya. Para pedagang dari kota raja Glagah
Wangi terus berdatangan dengan hadirnya pasar Ngandayaningrat di dekat kota
raja Pengging. Sapi-sapi yang tubuhnya besar-besar itu menarik beban berat di
belakang tetap menunjukkan kegigihan sapi-sapi itu.
Hanya para
petani yang terkejut dengan hal itu. Mengapa orang kota berpindah ke desa.
Sebuah pertanyaan para petani yang tak mungkin terjawab tanpa melakukan sebuah
tindak lanjut yang terjamin kepastiannya mengapa orang-orang kota berpindah ke
Pengging.
“Ingat
dengan putra Kakang Kebo Kenanga almarhum?” tanya seorang petani kepada
temannya yang sedang mengelus-elus cangkul kesayangannya.
“Apa
maksudmu dengan putra Kakang Kebo Kenanga?” tanya balik petani itu.
Petani
pertama hanya bisa mengelus-elus dadanya yang setengah berdesir itu.
“Wahyu itu
sudah digapainya,” gumam petani pertama itu.
Gumaman
itu membuat petani disekeliling petani pertama tercengang. Wajah-wajah itu
penuh pertanyaan yang harus terjawab dengan segera karena kata-kata yang
terucap dari petani pertama hanya sepenggal kalimat yang kurang jelas. Wahyu
apa itu?
“Anakmas
Karebet telah mendapatkan Wahyu Kedaton. Wahyu yang diperebutkan oleh para
sanak saudara Pangeranku Trenggono. Seletah terbunuhnya Kyai Kali Nyamat dan
Sunan Prawata ternyata Anakmas Karebet mengambil alih kekuasaan. Inilah takdir
itu,” jelas petani itu dengan singkat namun memberi kesan aneh di wajah petani
disekitarnya.
Petani
yang mengelus-elus cangkul tadi kini mengamati keadaan yang berbeda. Tatapan
mata itu sangat tajam, bahkan seekor rajawali yang mengamati Mandaraka kalah
tajamnya dari petani yang satu ini. Tajam sekali, seolah-olah petani ini sangat
mumpuni dengan ilmu ajian yang bernah dipelajarinya di Gunung Merapi.
“Eh,
tunggu dulu Pak Tua! Kau bukan petani daerah sini bukan?” petani yang sayang
sekali dengan cangkul itu berkata.
Petani
yang dipanggil Pak Tua itu memalingkan wajahnya dan segara melangkah dengan
santai menuju arah selatan. Caping yang menutupi wajahnya jelas saja tidak
banyak orang yang tentu mengenalinya sejauh mungkin. Jika rahasia dari caping
itu terbongkar maka dirinya akan disembah-sembah, dipuji-puji.
“Hey!
Jangan pergi dulu Pak Tua!” teriak petani bercangkul itu.
Teriakan
itu hanya dibalas dengan menghilangnya petani misterius itu di tengah ladang
yang tengah digarap.
“Siapa dia
Kakang?” tanya istri petani bercangkul itu.
“Dia Sunan
Kalijaga,” jawab petani itu.
Siang
tanpa mendung yang menggulung ternyata dapat pula menggetarkan tanah pijakan
seperti tersengat petir yang menyambar-nyambar. Gelegar itu cukup mengagetkan
para petani. Rasa was-was pada panenannya kini kian menjadi. Namun jauh dari
itu, Petani itu menjadi sadar akan sesuatu yang kasat mata tidak mereka
ketahui.
“Aku akan
mengabdikan diri menjadi prajurit, tapi kalian semua jangan ada yang mengikuti
langkahku, karena prajurit membutuhkan petani, petani juga memerlukan prajurit.
Akan aku perdengarkan bahwa daerah inilah kebutuhan beras itu terpenuhi,” orang
berpacul itu berucap tanpa berfikir apapun. Bebannya bukan beban lainnya.
“Kanjeng
Sunan tadi menyampaikan pesan bahwa di tanah Pengging ini akan menjadi sebuah
pusat pemerintahan mengantikan Glagah Wangi. Pastinya disertai dengan
pertumpahan darah untuk menjaga wahyu agar tidak didapatkan oleh orang yang
bertangan kotor. Tangan yang hanya memegang pedang sesekali mengayunkannya
untuk merenggut nyawa orang tak bersalah hanya dengan iming-iming takhta,”
lanjut orang itu.
Berdesir
tajam semua petani yang berkumpul di tempat itu. Kebanyakan petani tidak tahu
menahu tentang seluk beluk takhta angkara kini ada seorang petani yang
kerjaannya mengelus-elus pacul namun berwawasan sundul langit. Apa yang
dikatakan oleh petani bercangkul tadi itulah yang menyebabkan tatapan sinis
mengarahkan kepada sudut pandang negatif.
“Kalian
tahu? Pengging hanyalah pelantara pengganti Glagah Wangi. Bukan Pengging yang
menjadi kerajaan besar namun setelah kemelut Demak Bintoro teratasi muncullah
masalah lain yang akan menyebabkan Pengging kosong lagi. Pengging hanyalah
pelantara munculnya kerajaan seperti Majapahit dahulu,” tambah lagi orang itu.
Petani
bercangkul itu berbalik menatap wajah-wajah yang lusuh mengelilingi dirinya.
Satu persatu wajah ia perhatikan dengan cermat tanpa kurang suatau apa dan
hingga tatapan mata berakhir di wajah sang isteri yang disayanginya. Isteri
yang melengkapi selama ini dalam anggota keluarga.
“Ibu, aku
akan pergi ke Pengging. Jaga anak-anak kita sebaik mungkin. Setiap seminggu
sekali aku usahakan untuk berpulang ke rumah mengobati rinduku pada kalian
semua. Termasuk petani-petani kecil disini. Aku akan selalu mengabarkan apa
yang terjadi di calon kota raja Pengging. Sekarang pun aku berangkat. Aku
ditunggu Kanjeng Sunan di tepi sungai itu,” ucap petani itu sambil memegang
tangan kekasihnya yang amat sangat ia cintai.
Seorang
petani lain menyampatkan maju ke hadapan calon abdi kerajaan itu. “Kakang, jaga
dirimu baik-baik di kota sana. Jangan lupa dengan pacul mu yang selalu kau urus
itu!”
Petani
bercangkul itu tertawa terkekeh-kekeh.
Angin
mulai bergemulai dengan debu-debu yang sesekali mengepul. Panas pun kembali
menyergap sebagian muka bumi. Namun, di bagian lain dari bumi kini berubah
menjadi gelap dan dingin. Keringat-keringat pekerja keras pun mulai terkuras
hingga perlu istirahat untuk memulihkannya. Kini mentari itu tepat berada di
atas kepala manusia nun jauh disana.
Tak
seberapa jauh dari para petani itu.
“Kau sudah
tahu aku ternyata?” tanya Sunan Kalijaga kepada petani berpacul yang pernah
disapanya belum lama ini.
Petani itu
terpejam beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan dari orang yang sangat
dikenalnya.
“Bukankah
Paman Kalijaga juga tahu aku?” tanya balik pertanyaan Sunan Kalijaga.
“Kau
aneh!” seru Sunan Kalijaga sambil membuka caping yang menutupi ikat kepala khas
Sunan Kalijaga.
Petani itu
termanggu beberapa saat. Mencerna apa maksud kata “aneh” itu.
“Aneh
bagaimana Paman?” tanya petani itu akhirnya.
Sunan
Kalijaga memamerkan rambutnya yang kian panjang dan terurai.
“Bagaimana
rambutku? Kalau kala rambutku memanjang seperti ini, aku kembali teringat
kepada Berandal Lokajaya yang berusaha memeras tongkat emas Kanjeng Sunan
Bonang yang seusia lebih muda dariku. Terjadilah tarik menarik tongkat itu. Aku
tarik tongkat dengan keras, Kakang Bonang justru mendorongku dengan keras, aku
yang tidak terima kala itu aku dorong tubuh Kakang Bonang hingga terjatuh tak
berdaya di tanah,” cerita Sunan Kalijaga tentang masa lalunya.
“Kemudian
Paman tertawa terkekeh-kekeh seperti orang tak berosa. Tetapi apa yang dilakukan
oleh Paman itu membuat Paman Bonang berusaha bangkit dan tanpa sengaja Paman
Bonang mencaput rumput yang berada digenggaman tangannya,” lanjut Petani itu.
“Ternyata
putera Anakmas Terung tahu persis tentang aku,” puji Sunan Kalijaga sambil
membenahi ikatnya yang terobrak-abrik terkena caping.
Petani itu
bernama Sengguruh putera Adipati Terung atau mempunyai nama yang cukup membuat
jantung berdesir, yakni Raden Khusain.
“Kau tidak
di selatan bersama adik mu?” tanya Sunan Kalijaga.
Sengguruh
termenung.
“Kemarin
aku sehabis bertemu dengannya. Ternyata kau lebih pintar dari adik mu. Adik mu bodho sekali. Aku mendapati anak muda
itu menabur garam di sekeliling pohon kelapa. Ketika aku tanya mengapa ada
garam disini, ia menjawab dengan culas, agar beruk tidak menaiki kelapa itu.
Aku tunggu beberapa saat ketika ada seekor beruk mencoba naik tetap saja beruk
itu bisa naik,” sahut Sunan Kalijaga.
Sengguruh
kembali termenung.
Perputaran
waktu kemali terjadi di dalam pengingat-ingat Sengguruh. Bayangan demi bayangan
masa lalu itu berputar kembali dalam sekat pikiran-pikiran yang kosong.
Kejadian itulah yang menyebabkan Sengguruh serasa bermimpi kembali ke masa lalu
bersama keluarga tercinta. Matanya kini mulai terpejam menjelaskan bahwa
dirinya tengah menerawang waktu ke masa lalu lagi untuk kedua kalinya.
“Kau ini
mau tidak menjadi penerusku?” bentak Adipati Terung.
Raden
Trenggono tetap tidak bergeming mendapati bentakan dari ayahnya. Dengan sangat
tegas Trenggono menjawab, “Tidak ada dunia pun aku tidak mau menjadi seorang
pejabat Ayah! Serahkan saja kepada saudara-saudara ku!”
Adipati
Terung memejamkan mata untuk menghilangkan amarah yang tengah berada di puncak
namun semua usaha itu sia-sia.
“Trenggono!”
teriak Adipati Terung dengan suara yang agak serak. “Keluar dari rumah ini, dan
jangan sekali-kali injakkan kaki mu lagi di rumah ini!”
Bentakan
itu dijawab Raden Bagus Trenggono dengan cekat. Dirinya meloncat keluar melalui
jendela kemudian menghilang entah kemana. Angin mungkin membawanya, tetapi membawa
Trenggono ke tempat macam apa. Ataukah Trenggono dimakan bumi dikunyah hingga
antar tulang-tulang bergesekan dan akhirnya melebur menjadi satu dengan bumi
itu sendiri.
Dari pintu
depan terdengar suara ketukan pintu.
Adipati
Terung segera membukakan pintu meski wajah amarah itu jelas terlihat dari
tampang brengosnya yang lebat dan khas Adipati Terung.
“Paman
Wanasalam,” desis Adipati Terung.
Patih
Wanasalam segera membungkuk hormat kepada adik raja Glagah Wangi.
“Paman!”
teriak Sengguruh kecil.
“Ini Sengguruh,
Anakmas?” tanya Patih Wanasalam kepada Adipati Terung.
Adipati
Terung sesegera mungkin menyimpan rapi amarahnya kepada Raden Trenggono.
“Benar
Paman, ini bocah kecil yang dulu itu,” jawab Adipati Terung.
Sengguruh
kecil kemudian risih dengan tangan Patih Wanasalam yang sejak tadi
mengobrak-abrik rambutnya yang rapi.
“Aku sudah
tak ingat lagi aku bertemu adik ku kapan Paman Kalijaga,” tutup Sengguruh.
Sunan
Kalijaga hanya mengangguk-angguk kecil.
Angin
kembali berdesis. Udara yang semula melintir dirinya sendiri kini bertambah
besar. Rambut Sunan Kalijaga yang panjang itu terkibas angin yag deras itu.
Namun, Sunan Kalijaga hanya bersikap acuh tak acuh. Angin itu bertambah deras
dengan mendekatnya Kanjeng Sunan Kalijaga. Setelah berjalan beberapa depa dari
tempat semula, tubuh Sunan Kalijaga hilang diterbangkan angin.
Daun-daun
kering pun tak luput dari serangan angin itu, melayang berserakan di udara.
Angin itu membawa daun-daun berterbangan. Sesaat setelah memenuhi udara,
daun-daun itu jatuh perlahan ke tanah. Dan kini daun-daun itu berserakan tak
terurus di tanah, benar-benar seperti tak tersentuh manusia.
Namun
ketika seekor kuda melintasi tanah itu, daun-daun yang berserakan kembali
melayang terbang bebas. Sesaat kemudian melayang turun kembali setelah beberapa
jenak di titik balik. Kembali lagi berserakan seperti semula dengan beberapa
kerapian. Dedaunan itu membentuk sebuah pematang jalan yang lurus dilintasi
kuda tadi meski masih tetap berserakan.
Seorang
prajurit. Orang berkuda itu adalah prajurit. Prajurit yang cerdik, tangguh, dan
mumpuni. Banyak orang yang menganggap dirinya adalah titisan Prabu Mahapatih
Mpu Mada, seorang Maha Patih di zaman kejayaan leluhur Demak Bintara, yakni
Kerajaan Majapahit. Namun, secara kenyataan prajurit ini tidak seperti Gajah
Mada.
“Takdir
yang tidak masuk akal,” gumam prajurit itu.
Prajurit
itu terus memasuki kota raja Pengging. Begitu beberapa depa dari pintu gerbang,
prajurit itu tertegun melihat barisan teman-temannya mengiringi seseorang yang
dadanya terbuka sehingga siapa pun melihat bidangnya yang mempesona, wajahnya
yang penuh wibawa nan sangar. Ikat kepalanya berwarna hijau tua yang mencolok
mata siapa pun yang melihatnya.
“Kakang
Tingkir,” desis prajurit yang berlainan arah itu.
Kemunculan
prajurit yang berlainan arah dan cuma satu orang itu mengundang perhatian orang
yang disebut oleh prajurit berlainan kepentingan itu dengan Tingkir.
“Darimana
saja kamu Mandaraka?” tanya Sultan Hadiwijaya kepada prajurit itu.
Prajurit
itu segera membungkuk hormat.
“Hamba
dari menemui guru hamba di lereng Merapi, Kakang Sultan,” jawab Mandaraka.
Tanpa
basa-basi Sultan Hadiwijaya mengajaknya, “Aku akan menemui Kangmbok Nyi Kali
Nyamat, kamu mau ikut ndak?”
Mandaraka
memutar otaknya seperti bulus itu.
“Mohon
maaf Kakang Sultan, hamba ada kepentingan yang mendesak,” jawaban Mandaraka
terhadap ajakan Sultan Hadiwijaya itu.
Sultan
Hadiwijaya hanya menggangguk kemudian mengenarik tali kudanya. Beberapa
pengawal itu pun melakukan hal yang serupa. Debu pun kembali mengepul
dibelakang pasukan berkuda itu. Mandaraka yang masih tetap duduk di atas
punggung kuda hanya mengibas-kibaskan telapak tangannya di depan wajah.
Mandaraka
kembali menegaskan takdirnya. Kuda yang ditungganginya segera melejit ke sebuah
rumah di pojok belokan. Rumah yang cukup sederhanya milik adik perempuan
Mandaraka. Sepi rumah itu dari luar. Entah jika di dalamnya ada pertemuan.
Mengingat jabang bayi yang di kandung olehnya sebentar lagi pasti keluar.
“Adi!”
panggil Mandaraka.
Sesaat tak
terjawab pula panggilan itu, namun setelah beberapa jengkal waktu terlewati
barulah sebuah jawaban keluar dari dalam rumah.
“Masuklah
Kakang!” jawaban yang terdengar keras, jawaban dari seorang lelaki bukan adik
perempuan Mandaraka yang tengah berbadan dua.
Pintu yang
semua tertutup, perlahan mulai terbuka dengan munculnya sesosok tubuh. Tubuh
itu milik Mandaraka.
“Adik ku
dimana Adi?” tanya Mandaraka kepada lelaki di depannya.
Lelaki di
depan Mandaraka hanya terdiam saat pertanyaan dari kakak iparnya itu keluar.
“Adik mu
ada di dalam bersama seorang emban keputren dari Istana,” jawab lelaki itu
dengan suara yang lemah.
Mandaraka
tertegun. Jantungnya berdetak lebih kencang dari sesaat yang lalu. Keringatnya
mulai membasah di pelipis.
“Aku akan
segera menjadi seorang Paman. Paman Mandaraka?” gumam Mandaraka.
Orang yang
mendengar gumaman Mandarakan seakan-akan ingin segera meluapkan isi hatinya
untuk tertawa namun segera dibentung karena seperti tidak menghormati kakak
iparnya sendiri untuk merasa bangga menjadi seorang paman. Hanya senyum khas
dari orang berkumis tipis menuntunnya untuk meluapkan hasrat tertawanya.
“Aku sudah
punya adik mu, kapan kau menuruti hasrat manusiawi mu Kakang?” tanya orang itu.
Mandaraka
tersenyum sinis mendengar ucapan dari adik iparnya itu.
“Aku tak
suka kau mengataiku seperti itu Adi, Adi Panjawi juga belum punya,” jawab
Mandaraka dengan nada yang cukup untuk meluapkan rasa panasnya.
Orang
berkumis tipis itu hanya menggeleng-gelengkan kepala.
“Hm, kau
punya sumbangan nama Kakang untuk calon kemenakan mu itu?” tanya orang itu
mengalihkan pembicaraan.
Mandaraka
memutar kembali akal bulusnya yang penuh dengan jalan berlorong itu.
“Sutawijaya
kau mau?” timbang Mandaraka setelah menemukan sebuah nama dari akalnya.
Orang
berkumis itu hanya mondar mandir. Adik ipar Mandaraka itu kembali merasa
terganggu dengan mimpinya semalam yang aneh itu. Berusaha untuk menutupinya
sama saja membungkam takdir dari anaknya.
“Kau dapat
nama itu dari mana?” tanya orang itu dengan resah.
Mandaraka
setengah bingung akan menjawab apa, sebab nama itulah yang kemudian muncul
dalam benaknya. Keringat dingin kembali membasahi pelipis Mandaraka.
“Nama itu
hanya gambaran orang yang tangguh seperti Gajah Mada dulu, cakap seperti
Pangeran Djin Bun yang membangun negara Demak Bintara, sakti mumpumi seperti
eyangnya Ki Ageng Selo,” jawab Mandaraka dengan cepat.
Mandaraka
kemudian berjalan mondar-mandir layaknya bingung. Tak kalah terperanjatnya
orang lain di ruangan itu mendapati ucapan yang mengetarkan dinding ruangan
itu. Mimpi itu jelas-jelas akan menjadi kenyataan jika nama Sutawijaya
dipakainya sebagai nama keturunannya. Mimpi yang menjadi takdir anak turunnya.
“Adi
Pemanahan, kau mungkin akan bingung dengan semua kejadian yang menimpamu
belakangan ini. Terkadang itu tak masuk akal namun sejatinya itulah sebuah
takdir di masa akan datang,” ucap Mandaraka.
Senyap
kemudian mengalir dengan tenang dan menghanyutkan.
“Aku pergi
dari Pengging! Aku keluar dari keprajuritan! Aku akan berguru kepada Ki Ageng
Mangir di selatan sana!” tegas Mandaraka dengan bergegas membuka pintu dan
lenyap di balik pintu.
Senopati
Pemanahan hanya bisa diam membeku di tempat. Apa yang akan dikerjakannya
seolah-olah hanya angan-angan yang cukup untuk didiamkan di pikiran. Mulut
Pemanahan hanya terkatup lem yang berkwalitas jelek namun pengaruh kerekatannya
sungguh terjamin. Tatapan matanya sayu tak bernafsu.
“Danang Sutawijaya,
aku titipkan kepadamu Anakmas Pemanahan,” ucapan Ki Ageng Selo kembali menggema
di lamunan Pemanahan.
“Danang
Sutawijaya siapa?” tanya Pemanahan kepada Ki Ageng Selo.
“Jabang
bayi mu Pemanahan,” jawab Ki Ageng Selo dengan jelas.
Berdesir
tajam hati Pemanahan. Bayi yang dikandung Nyai Sabinah adalah darah Ki Ageng
Selo. Darah kakek Pemanahan jelas turun di darah pemuda yang gagah itu.
Pemanahan
jelas mengingat mimpi yang dialaminya tiga kali berurut-turut itu. Gambaran
kakeknya yang dipajang di dinding rumah seperti nyata adanya, seperti
benar-benar ada di depan mata Pemanahan malam itu. Di sentuh pula nyatalah
tangan kusut kakeknya, tangan yang pembuluhnya tampak kasar itu.
Takdir
aneh kini terdapat di tangan Pemanahan, tidak hanya di tangan kakak iparnya,
Mandaraka. Takdir tentang sebuah masa dimana masa lalu adalah sejarah dan masa
akan datang adalah masa modernisasi global. Entah apalah itu, namun takdir itu
jelas menuntun setiap orang yang memilikinya.
Hanya
orang-orang tua yang menyembunyikan rahasia waktu itu. Waktu dimana titik balik
peradaban manusia di bumi ini. Waktu di mana ilmu mawas diri dengan ilmu-ilmu
nenek moyang mudah di goyangkan dan kemudian lenyap dengan sendirinya. Waktu
siap menghapus semua kenangan kadigjayaan masa lalu untuk menghadapi masa
dimana teknologi maju dengan pesat.
Pemanahan
kembali mondar-mandir di depan pintu dimana Sutawijaya tertidur. Anak yang baru
saja menapaki jelajah dunia itu mendekap di samping ibunya yang mengelus-elus
rambut Sutawijaya. Emban yang dibawa Pemanahan masih berada di samping Nyai
Sabinah.
“Bagaimana
Emban?” tanya Nyai Sabinah.
Emban itu
segera memposisikan diri sebaik mungkin.
“Anaknya
tampan Nyai, seperti ayahnya,” jawab Emban Ragasuti.
Nyai
Sabinah tertegun, diri nyai kembali ingat siapa yang harus bertanggung jawab
atas kehamilannya.
“Emban,
Kakang Pemanahan mungkin telah tidak sabar melihat momongannya,” kata Nyai
Sabinah membayangkan Pemanahan tersenyum puas.
“Saya
panggilkan Nyai?” tanya emban Ragasuti.
Nyai
Sabinah menjawabnya dengan mengangguk tanda setuju.
Berdirilah
sesosok pengabdi kesultanan itu, Emban Ragasuti. Emban itu bergegas membuka
tirai yang menutupi kamar dan ruang itu. Tampak Pemanahan yang duduk di atas
lincak.
“Kakang
Pemanahan, jabang mu sudah lahir, siap untuk dilihat,” kata Emban Ragasuti
kepada Pemanahan yang duduk-duduk itu.
“Aku akan
menemuinya,” jawab Pemanahan dengan penuh sesak di dada.
Pikiran
itu kembali melayang di benak Pemanahan. Kegundahan hati Pemanahan tidak bisa
terelakkan. Bayangan kakeknya terus saja mengikuti kemana pun diri Pemanahan
pergi. Bayangan yang muncul di kelopak mata Pemanahan itu terus saja memberikan
sebuah wejangan kepada cicitnya yang amat disayangi Ki Ageng Selo.
Nyai
Sabinah tersenyum ketika tirai terbuka, suaminyalah yang membuka. Namun, senyum
itu berubah menjadi pertanyaan ketika suami Nyai Sabinah terlihat murung.
“Ada apa
Kakang?” tanya Nyai Sabinah.
Pemanahan
hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu.
“Kakang?”
tegas Nyai Sabinah.
Pemanahan
hanya diam dengan senyum kecutnya. Pemanahan kemudian tertuju kepada bayi yang
tertidur pulas di pelukan ibu kandungnya.
Telinga
awas Pemanahan segera berlari ke arah pintu depan ketika suara ketukan itu
menganggu konsentrasinya. Mungkin Pemanahan akan marah-marah kepada orang tidak
berdosa yang berani-beraninya mengetuk pintu rumahnya. Mungkin pula Pemanahan
akan menghajar orang yang yang mengetuk pintu itu.
Rontok
hati Pemanahan melihat siapa yang mengetuk pintu rumahnya. Pecahan hati itu
mungkin hanya terdengar oleh Pemanahan sendiri. Benar-benar sayu Pemanahan
melihat orang yang dihadapannya setelah pintu itu terbuka.
“Anakmas,”
panggil orang dihadapan Pemanahan.
Seketika
pula Pemanahan tertunduk dan memberi sembahnya dengan mencium lutut orang itu.
Pemanahan bingung bagaimana adabnya kepada sesama orang tetapi yang dihadapinya
adalah manusia mulia disisi Tuhan.
“Sudah
sudah!” kata orang itu sambil mengangkat tubuh Pemanahan yang mencoba berlutut
kepada dirinya.
Pemanahan
hanya menuruti tangan orang yang mengangkat tubuhnya.
“Kanjeng
Sunan,” gumam Pemanahan sekali lagi setelah sebelumnya dirinya bergumam
demikian.
Sunan
siapakah yang menemui Pemanahan?
“Aku tadi
sempat bertemu kakak iparmu di selatan,” Kanjeng Sunan mengawali, “Dirinyalah
yang bercerita kepada ku tentang bayimu. Maka aku sempatkan untuk mampir ke
gubuk ini. Boleh kan Anakmas Pemanahan?”
Pemanahan
tidak mungkin menyembunyikan warna perasaan yang aneh.
“Selatan?
Dimana Kanjeng Sunan?” tanya Pemanahan aneh.
“Aku
sehabis mengantarkan Anakmas Sengguruh ke hadapan adiknya Trenggono kemudian
aku mampir di tanah Mangir. Di tanah Mangir itulah aku bertemu dengan Anakmas
Mandara yang tengah semedi dibimbing Ki Ageng Mangir,” jawab Kanjeng Sunan.
Pemanahan
terkejut mendengar nama-nama yang disebut-sebut oleh Kanjeng Sunan. Tidak kalah
terkejutnya jika memutar waktu ke beberapa jengkal yang lalu, dimana Mandara
bersi tegang dengan Pemanahan di ruang tamu hingga Mandaraka minggat.
“Sengguruh?”
tanya Pemanahan.
Kanjeng
Sunan menahan ludah agar tetap berada di tempat sebelum selesai menceritakan
sesuatu kepada orang di hadapannya.
“Sengguruh
dan Trenggono adalah putera Raden Khusain di Terung,” jawab Kanjeng Sunan.
“Owh,”
gumam Pemanahan.
Kanjeng
Sunan kemudian masuk ke ruang tamu tanpa dipersilakan oleh tuan rumah.
“Mana
bayimu?” tanya Kanjeng Sunan.
Pemanahan
gugup setengah mati. Namun, segera sebagai orang yang piawai di dunia
keprajuritan kegugupan itu hilang dan kini muncullah aura yang menjanjikan.
“Mari
hamba antar,” kata Pemanahan sambil membimbing Kanjeng Sunan untuk memasuki
ruang dimana Sutawijaya berada.
Emban
Ragasuti sedari tadi hanya bisa mengelus-elus dadanya saja.
Nyai
Subinah kaget bukan kepalang ketika yang membuka tirai itu bukan suaminya
tetapi orang yang dianggap sebagai waliyullah.
“Sudah kau
adzani bayi mungil ini Anakmas?” tanya Kanjeng Sunan.
Pemanahan
hanya berbisu diri.
“Menggendongnya
saja belum Kanjeng Sunan Kalijaga,” sahut Nyai Sabinah.
Sunan
Kalijaga hanya tertawa mendengar sahutan Nyai Sabinah yang masih lemas terbaring
di tempat tidur itu.
“Boleh aku
gendong Nini?” tanya Sunan Kalijaga kepada Nyai Sabinah.
Nyai
Sabinah hanya menganggukkan kepala.
Sunan
Kalijaga angkat bayi itu dengan pelan agar tidur lelap bayi itu tetap terjaga.
“Kalian
berdua tahu?” tanya Sunan Kalijaga mengawali wejangannya, “Kedua telapak tangan
bayi ini menggenggam karena apa? Karena bayi ini masih ingin menggenggam
janjinya kepada Gusti Allah menjadi manusia yang baik bagi nusa dan bangsa.
Betapa pedih hati bayi mungil ini jika mengetahui janji itu pergi. Nah, agar
janji itu tidak lepas atau lupa, kau Pemanahan, adzani anak ini sambil membuka
kepalan tangan kanan kemudian iqomah sambil membuka kepalan tangan kiri.”
Sepi
kembali menyayat.
Pemanahan
kemudian mendekat Sunan Kalijaga.
“Kanjeng
Sunan saja yang melakukannya. Hamba kurang mampu,” jawaban Pemanahan atas
wejangan Kanjeng Sunan Kalijaga.
Sunan
Kalijaga kemudian mengangguk perlahan.
Angin
kembali berdesir mengibaskan gorden yang menyibak di kanan kiri jendela itu.
Semua kejadian itulah yang menjadi pertanda bahwa takdir itu ada dan mengikat
putera Pemanahan. Pikiran Kyai Pemanahan kini beralih ke kakak iparnya dan
bertanya-tanya sedang apa dia di selatan?
Desa
Mangir.
Sunyi bila
menggambarkan suasana alam di sekitar Mangir, ujung hutan Mentaok yang rawan
bagi pedagang, dan para perawan. Dulu hutan inilah yang menjadi saksi adanya
orang bernama Ki Ageng Pasingsingan beserta murid didiknya yang menjulang
tinggi ketenarannya di wilayah ini.
Awan
melintasi di atas lahan persawahan milik penduduk Mangir. Hitam pekat mendung
itu. Empat pasang mata saling melirik dengan mata ayam. Angin pun serasa
membawa suasana segar-segar hangat. Nyiur pohon kelapa di seberang persawahan
bergoyang dengan nyamannya.
“Cakra
Manggilingan merupakan ilmu tua dari Kerajaan Majapahit. Suatu ilmu yang bisa
memutar balikkan waktu dan tempat. Cakra adalah roda, manggilingan adalah
kehidupan. Kau mampu melenyapkannya?” tanya seseorang berpakaian serba hijau.
Agaknya
orang yang dimintai jawaban itu terpojokkan dengan pertanyaan itu.
Angin
kembali menggoyahkan keteguhan hati Mandaraka. Tangannya tak bisa lepas dari
mengusap-usap ikat yang dikenakannya. Pemuda yang berusia kepala tiga itu
menimbang-nimbang segala kegundahan hati.
“Ajarkan
aku Paman Mangir!” tegas Mandaraka, “aku siap melenyapkannya!”
Tanah yang
dipijak oleh Ki Ageng Mangir dan Mandaraka seakan-akan tak mampu lagi menjadi
pijakan bagi kedua orang itu. Petir yang menyambar-nyambar itu kian menjadi.
Suasana tanah Mangir seperti digulung ombak di pesisir kidul.
Beberapa
ekor burung gagak melintas di atas tanah Mangir sambil memamerkan sayatannya
mereka yang mereka angap indah dan merdu itu. Namun dibenak dua orang yang
tengah mengamati keadaan itu sayatan itu mengusik hati mereka sebagai manusia.
Terekam kembali ke dalam ingatan dalam benak kedua orang itu.
Konon,
sayatan gagak itu pertanda akan kematian atau hal buruk lainnya. Bila di laga
perang sayatan itu memberikan kekuatan magis yang merontokkan nyali prajurit.
Para prajurit itu menimbang bahwa ajal mereka telah di ujung tanduk dan bila
mana benar terjadi, tubuh mereka akan menjadi ganjal perut bagi binatang buas.
“Kau lihat
petir yang sekali-sekali menyambar itu?” tanya Ki Ageng Mangir meredam
ketegangan.
Mandaraka
memperhatikan kembali dalam pusatan olah kanuragan alam bawah sadar untuk
melihat energi sebesar mana yang dihasilkan oleh petir-petir itu. Matanya jelas
menggambarkan minat.
“Salah
satu sahabat ku dahulu, pernah bercerita bahwa dirinya berhasil menangkap petir
di atas pohon,” lanjut Ki Ageng Mangir setelah menarik nafas panjang.
Mandaraka
merasakan bahwa bulu kuduknya berdiri. Kembali Mandaraka mengenali seseorang
yang amat sangat di kenalnya, Kyai Ageng Selo.
“Dalam
tubuh kita terdapat elektron-elektron yang aktif, setiap kita membangkitkannya
dalam alam bawah sadar, elektron itu bertumpu pada satu titik, dimana yang
menjadi perhatian kita. Begitu juga dengan Ki Ageng Selo, dirinya telah
membangkitkan alam bawah sadarnya untuk menyangkal getaran negatif itu merambat
dalam tubuh kita,” tutur Ki Ageng Mangir.
Angin
kembali berhembus.
“Kita
sebagai manusia seperti titisan Brahma atau Syiwa yang menguasai alam ini. Kita
diberi anugerah untuk mengelola alam dengan kemampuan kita. Dan kita juga harus
menyeimbangkan dunia itu dengan kekuatan batin kita. Olah Kanuragan ialah ilmu
yang digunakan manusia untuk menyeimbangkan dunia menggunakan sumber daya alam
di bumi ini. Mulai dari ilmu yang mbis-mbisen hingga sundul langit,” lanjut Ki
Ageng Mangir.
Mandaraka
sibuk mengamati wajah Ki Ageng Mangir yang kaya ilmu itu.
Ki Ageng
Mangir memutar tubuhnya menatap sebuah bayang yang semu.
“Aku
terlalu tua untuk mengajarinya kepada mu, tubuhku renta untuk sebuah gladi yang
membutuhkan tenaga besar. Cakra Manggilingan adalah ilmu pamungkas trah Mangir
yang paling banyak menguras tenaga. Wanabaya anak ku belum sempurna mengusai
ilmu ciri khas kanuragan Mangir.”
Orang tua
itu menitikkan air mata. Sebaliknya, Mandaraka sedikit merasa aneh ketika bulu
kuduknya berdesir.
“Aku
mencoba mendekat kepada Sang Hyang Widdi, jika inilah waktu yang tepat untuk
menyerahkan raga ini keharibaanNya. Aku merasa kau orang yang tepat untuk
belajar ilmu ini dengan maksimal dengan penuh konsentrasi. Agar kau bisa
menyatukan beberapa ilmu pamungkas berbahaya bagi perkembangan zaman. Aku berada
di belakang mu Mandaraka bersama Sang Hyang Widdi,” ucapan yang keluar dari
mulut seorang tua tersebut.
Mandaraka
tidak bisa menyembunyikan sebuah alasan mengapa dirinyalah yang harus
disinggahi takdir aneh itu. Matanya sayu berkaca-kaca, rambutnya yang
acak-acakan itu kembali beracak. Namun, ikat yang dipakainya tetap seperti
semula tanpa ada sesuatu yang berubah.
Mencoba
melintasi waktu yang ada, sebuah perputaran waktu yang aneh. Waktu adalah
anugerah dari Tuhan Yang Esa tapi kenapa juga manusia tetap saja diberi
kekuasaan untuk mengelola waktu itu menjadi berharga. Waktu aneh, dimana mimpi
dan nyata seperti tidak ada bedanya. Seuah waktu yang menjadi titik balik
peradaban manusia di bumi.
Tidak jauh
berpaling dari tempat bernama Mangir itu.
“Adi Trenggono!”
ucap Sengguruh dengan tegas.
Membisu
dengan semua kata yang pernah dirinya ketahui.
“Kau
tuli?” tanya Sengguruh.
Trenggono
hanya bisa menggeleng tanpa sebuah hawa nafsu untuk menjawab dengan dua atau
beberapa kata dalam kalimat. Geleng itu pun tanpa lemah, seperti kepala tertiup
angin atau barang kali orang itu mencoba menghilangkan rasa kantuk yang
menyebabkan dirinya tertunduk sebagai jawaban atas “Ya.”
“Kau sudah
tua untuk umur remaja mu yang aneh Adi. Kau sudah dewasa, sudah mampu berfikir
bagaimana hidup sebagai umat dari Nabi Muhammad seperti yang diajarkan oleh
nabi besar itu kepada umatnya,” lanjut Sengguruh membuka sebuah lembaran kisah
tentang jati diri Trenggono.
“Kau
terlalu bodho untuk umur mu yang tua ini Adi. Aku sebagai kakak kandung
mu mengerti rasanya rindu itu menyelimut dalam hati kecil mu. Aku ada disini,
karena kita adalah keluarga dari Ayah Adipati Terung. Aku rindu kepada adik
semata wayang ku yang hilang ditelan bumi entah beberapa tahun yang lalu.”
Angin
berhembus pelan dengan sebuah irama yang mendesirkan barisan dedaunan yang
berderet rapi di dahan pohon. Bergerak indah kesana-kemari mengikuti laju
sebuah irama angin yang indah. Gesekan yang merdu itulah yang membuat suasana
yang cengeng itu semakin larut.
“Aku
adalah kakak mu yang kau tinggal di rumah begitu saja dengan kasar. Aku
kemudian diambil oleh Paman Wanasalam di Demak untuk menjadi teman dalam
bermain adu tombak, adu perang tanding. Dikala aku perang itulah bayangan
kemampuan mu dalam berolah kanuragan kembali mengenang, aku seperti kangen
dengan sosok yang imut mengemaskan yang dulu bermain kejar-kejaran di halaman
rumah.
“Ayah
selalu marah melihat mu menangis terjatuh karena aku mengajak mu kejar-kejaran.
Ibu sayang kepada anaknya selalu itu ibu yang cerita. Ibu membela mu jika ayah
marah kepada mu karena sebuah masalah. Ibu mu selalu meninang mu jika kamu
ingin tidur. Aku sendiri sayang kepada adik ku. Aku kangen setelah beberapa
tahun kau hilang ditelan bumi. Dari utara Jawa hingga tepian selatan ini,”
lanjut Sengguruh sambil mrebes mili.
Bergetar
hebat tubuh Raden Trenggono.
Angin
begitu sejuk menidurkan dongeng sebelum bobok itu di telinga Trenggono.
“Selama
bertahun-tahun itu rupanya aku tertidur oleh waktu yang bodoh. Aku belajar dari
sebuah kesalahan dalam sejarah hidupku. Aku tertuntun karena aku selalu
dibuntuti oleh sesosok orang tua yang aneh itu. Aku tak tahu harus melangkah
kemana, hidupku habis termakan perjalanan yang penuh garam ini. Seeokor beruk
yang bodoh pun pernah merasakan betaba asinnya rasa petikan buah kelapa di
pucuk pohon.
“Aku tidak
tahu harus kembali melalui jalan apa. HidayahNya menuntunku untuk kemari demi
sebuah tirakat yang belum tentu bisa terlampaui oleh manusia yang awam. Aku
menangis di atas pelepah daun pisang dimana tempat kepala ku ini bersujud. Aku
makan pun tidak hingga kini. Bertahun-tahun lamanya aku tidak merasakan suapan
kasih seorang ayah dan ibu yang menuntunku dari bayi.
“Dan aku
adalah aku yang saat ini. Apapun yang Kakang lihat dari ku, inilah aku yang
sekarang. Aku yang kurus dan lusuh karena bandelnya diriku.”
Trenggono
tetap saja dengan sikapnya yang aneh dan agak bodoh itu. Rambutnya yang terurai
kusal itulah yang menjadi tanda dirinya tidak pernah mengurus diri. Rambut yang
terlalu panjang sebagai seorang pria, yang terlalu gimbal untuk seorang yang
edan. Bahkan seperti telihat tak pernah dikeramasi dengan dedaunan yang wangi
dan berkhasiat.
Diam
adalah emas menurut Trenggono kali ini. Entah komentar apa yang akan keluar
dari mulut Sengguruh yang sedang termenung mendengar sebuah kalimat-kalimat
yang terucap dari mulut Raden Trenggono.
Angin
kembali menggetarkan ruang yang berada di sekitar mereka berdua. Angin yang
cukup kencang daripada yang tadi. Angin yang begitu haus untuk mengobrak-abrik
sekumpulan dedaunan yang terjatuh di tanah untuk kembali melayang di ruang
bebas.
“Assalamu’alaikum,”
ucap sesosok tubuh yang berlahan turun dari dahan pohon.
“Wa’alaikum
salam Warahmatullah,” jawab kedua saudara itu.
Perlahan
angin yang berhembus sepoi itu mengantarkan langkah orang yang berucap salam
tadi ke kedua saudara yang sedang mengumbar cerita-cerita di masa lampau,
cerita sejarah tentang kehidupan kekeluargaan yang sakinah dahulu.
Tubuh tua
yang termakan usia. Jiwa yang selalu haus dengan petualangan kehidupan yang
liar dan aneh. Mengenal waktu pun tidak, bahkan jika bisa seumur hidupnya ingin
berputar-putar tujuh kali mengelilingi Jawadwipa.
Adalah
angin yang menjadi kendaraan pribadinya. Kedekatannya dengan Yang Maha Kuasa
membuat dirinya seakan memiliki ilmu yang tanpa batas. Dirinya seakan bisa
terbang bebas di angkasa layaknya burung-burung yang terbang melayang meskipun
dirinya tak memiliki sayap sekalipun.
“Kanjeng
Sunan Kalijaga!” seru keduanya hampir saja bersamaan hanya selang beberapa
detik saja keterkejutan itu melanda di hati mereka berdua.
Seperti
kebiasaan orang awam yang melihat sesosok orang yang dekat denganNya selalu
saja tangan orang yang dekat denganNya itu menjadi sasaran untuk disalami.
Begitu juga dengan Sengguruh dan Raden Trenggono. Melihat sosok yang
dikenalnya, Sunan Kalijaga, maka dengan lintah keduanya menghampiri tangan
kanan Sunan Kalijaga.
Setelah
puas keduannya dengan kesibukan itu sesegeralah mereka menempatkan diri
mendampingi Kanjeng Sunan Kalijaga.
“Angin
ternyata tak henti-hentinya memerhatikan kami,” ucap Sengguruh dengan
kekaguman.
Sunan
Kalijaga hanya memanggut-manggut.
Mata ayam
Kanjeng Sunan Kalijaga terus saja melirik tajam dimana letak hati dari Raden
Trenggono. Lirikan mata ayam itu beredar ke kepala Trenggono hingga singgah di
kedua mata putra Raden Husain itu. Dengan tajam pula Kanjeng Sunan Kalijaga
memperhatikan kelopak mata yang bergerak kesana-kemari itu.
“Anak Mas
Trenggono, Anak Mas Sengguruh,” panggil Sunan Kalijaga.
Keduanya
dengan sigap segera menempatkan diri dihadapan Sunan Kalijaga.
“Setelah
sekian tahun lamanya Anak Mas berdua jauh dari Terung. Apakah kalian berdua tak
merasakan kerinduan yang dalam kepada tanah dimana kalian berdua dilahirkan di
dunia ini? Sejenak saja berada disana kalian pasti merasakan rasa yang dulu
sempat menyelimuti kalian berdua,” lanjut Sunan Kalijaga.
Entah
mengapa, wajah kedua putera Raden Husain ini berbinar-binar mendengar kata
“Terung” disebutkan dengan nada yang meyakinkan.
Sengguruh
menempatkan kedua tangannya yang berhimpitan itu di antara mulut dan hidung,
isyarat memohon izin berbicara.
“Bagaimana
rasanya Kanjeng Sunan?” tanya Sengguruh.
Sunan
Kalijaga kembali memejamkan mata selagi melirik kedua sepasang mata kakak
beradik itu.
Angin-angin
aneh itu kembali hadir di antara mereka bertiga. Berputar serus menerus mengelilingi
tubuh mereka bertiga. Pusaran angin yang terbentuk itu seakan-akan melindungi
mereka bertiga dari sebuah hujan anak panah yang menyerang. Namun, setelah
bayangan kanan kiri semakin rusak karena angin yang mengalangi penglihatan
mereka dengan debu-debu.
“Dunia ini
tak ada yang tak mungkin. Semua yang akan terjadi di dunia ini adalah takdir,
dan inilah jalan takdir kalian ke depan, aku disini hanyalah sebagai lantaran
Allah swt untuk memindahkan takdir itu ke tangan kalian berdua demi sejarah,”
ucap Sunan Kalijaga dalam keheningan angin yang perlahan mengecil itu setelah
menjadi sejadi-jadinya.
Tanah
Terung
Debu-debu
yang mengepul tersapu angin bergerak berkeliaran di sekitaran kampung. Langkah
kaki pun selalu diikuti dengan kepulan debu yang beterbangan di belakang
langkah kaki. Meski tidak berlari pun debu masih saja mengikuti langkah kaki
itu.
Pohon-pohon
rindang sepertinya telah mati diburu paceklik berkepanjangan. Tanah gersang
tidak ada setetes air pun yang menetes dari atas. Kota kadipaten Terung yang
mati.
“Terung?”
letup Raden Trenggono.
Terbelalak
mata Reden Trenggono melihat kampung halamannya yang telah sekian tahun lamanya
ia tinggalkan, kini telah menjadi ladang yang gersang. Apakah hanya Raden
Trenggono saja yang terbelalak melihat tanah Terung? Raden Sengguruh pun
sedemikian terkejutnya melihat suasana kota Terung yang mengenaskan.
“Ya,
inilah kampung halaman kalian. Terung namanya!” kata Sunan Kalijaga.
Betapa
tampak raut muka dari kedua putera Raden Khusen menjadi murung tujuh kepurung.
Sedih bercampur cemas serta kangen melebur dalam satu kesatuan. Meski berbeda
sifat, dari semua itu mampu menciptakan rasa yang begitu mendalam. Namun
keduanya sadar akan adanya sesuatu dibalik semua itu.
Sebuah
cerita di suatu ketika tanah itu adalah penghasil hasil bumi yang melimpah dan
memenuhi gudang pangan dari Kerajaan Majapahit. Pasar-pasar di kota Trowulan
dipenuhi oleh hasil garapan yang telaten dari petani tanah Terung. Mungkin saja
makanan yang diolah di dapur Kedaton pun juga hasil dari tanah yang menjanjikan
itu.
Sebuah
tempat yang subur di bantaran kali Bengawan Terung yang menuju pelabuhan Ujung
Galuh. Saluran-saluran irigasi dari kali itulah yang menjadikan tanah Terung
menjadi kian subur di dalam bidang agraris, dimana setiap penduduknya bermata
pencaharian sebagai buruh tani di sawah-sawah yang bergelimpang ruah.
Setelah
beberapa tahun berlalu dan gonjang-ganjing konflik keluarga keraton, hasil bumi
dari Terung dialihkan ke Pengging. Namun, itu pun tidak berjalan dengan lama
dan mulus. Konflik politik kerabat kerajaan itu membuat penduduk Terung banyak
yang pindah ke Pengging. Datangnya sungkem Raden Khusen dari Palembang ke Prabu
Brawijaya, maka dipilihkan Terung menjadi tanah perdikan dibawah kekuasaan
Adipati Terung.
Namun,
sejalan dengan bergulirnya waktu yang terus saja berputar mengelilingi
peradaban manusia, tanah Terung yang dahulu kaya hasil buminya sekarang habis
kering kerontang tanah subur itu. Manusianya pun juga ikut hanyut terbawa arus
kering dari tanah ini.
“Waktu
adalah salah satu bukti kekuasaanNya. Namun, waktu bisa saja berjalan mundur
berlawanan kodratnya jika Allah menginginkannya. Disinilah aku ditempatkanNya
sebagai tangan kanan kekuasaanNya untuk menyelesaikan permasalahan ini. Aku
beberapa kali ditemui oleh seseorang yang tak ku kenal disetiap takarufku, dan
aku diberikannya tugas sebagaimana kali ini,” ungkap Sunan Kalijaga sambil
menepuk pundak kedua putera Terung.
Raden Sengguruh
dan Raden Trenggono tercengang mendengar perkataan dari salah satu anggota
dewan Wali Songo itu. Butuh beberapa selang waktu untuk menepis rasa su’udhon
kepada waliyullah itu. Bukan tanpa maksud tertentu bagiNya untuk kekhalifahan
manusia di dunia ini, seperti pula apa yang diungkapkan oleh Sunan Kalijaga
itu.
“Aku ingin
lihat tanganmu Anak Mas Trenggono,” permintaan Sunan Kalijaga.
Tanpa rasa
ragu, Raden Trenggono memberikan tangannya untuk dipegang oleh Sunan Kalijaga.
Diusap-usapnya telapak tangan Raden Trenggono oleh Sunan Kalijaga.
Satu
kejadian di luar akal maupun dugaan dari manusia lain. Di telapak tangan Raden
Trenggono secara tiba-tiba muncul semburat cahaya kebiruan yang sangat
menyilaukan. Bagaimana mungkin di dalam tubuh manusia terdapat sumber cahaya,
hal yang menjadi mustahil dalam sifat yang dimiliki manusia.
Tidak
hanya sampai di kejadian itu. Setelah meredupnya cahaya kebiruan yang
menyilaukan itu di telapak Raden Trenggono tertatto sebuah simbol yang aneh.
Simbol apakah yang ada di tanggan Raden Trenggono?
Sunan
Kalijaga masih memegang telapak tangan Raden Trenggono bertanya,“Kau tahu apa
ini Anak Mas?”
Dengan
rasa penasaran yang berlebih, putera Terung itu menjawab sesuatu.
“Apakah
ini rajah Nalacakra, Kanjeng Sunan?”
Raden Sengguruh
yang mendengar nama rajah Nalacakra disebutkan adiknya bertambah bingung dalam
suasana itu. Tangan kanan Sengguruh pun mulai menggaruk-garuk kepala,
seolah-olah banyak tumo yang membuat sarang di rambutnya.
“Kau tahu,
berarti kau tahu apa tugasmu selanjutnya tanpa harus mulutku ini menjelaskan
sebuah hal yang menurutmu adalah basa-basi semata. Kau harus menemani Mandaraka
dalam sebuah misinya, dan aku tidak mempunyai urusan membuat takdir baru dalam
hidupmu.”
Tenggorokan
orang tua itu merasakan kehausan yang berlebih hingga ia harus menelan ludah
yang mengganjal di mulut untuk sekedar memberikan rasa cair dalam keringnya
kerongkongan.
“Sengguruh!”
panggil Sunan Kalijaga selagi melepas tangannya yang memegang tangan Trenggono.
Raden Sengguruh
pun mendekati orang tua yang merupakan bagian dari dewan Wali Songo itu.
“Dan
takdir tanah yang menjanjikan inilah untuk mu. Ingat! Kau adalah putera Raden
Khusen di Terung dan Kau adalah ayah Anak Mas Trenggono. Kau bukan lagi
memiliki adik Raden Trenggono tapi melainkan kaulah ayahnya.
“inilah
tanah dimana bumi sejuk Terung akan kembali terlahir di bantaran kali Bengawan
Terung. Sebuah tanah perdikan yang diberikan oleh Prabu Brawijaya V untuk Raden
Khusen dari Palembang. Sebuah tanah yang subur, kelolalah kembali menjadi khalifah
di tanah ini. Menjadi manusia yang berakhlaq luhur cinta kepada nabiNya percaya
akan kekuasaanNya itulah hakikat khalifah.
“Kenakanlah
sebuah cincin ini di jari kelingking tangan kirimu. Inilah bukti akad dari
berputarnya waktu sesuai kodratnya. Inilah takdir kekuasaanNya.”
Angin
padang gersang bertiup pelan, mengudarakan debu-debu yang bersemayam.
Seolah-olah inilah bukti kekuasaanNya disamping para waliyullahNya yang menjadi
khalifah di tanah Jawadwipa ini. Debu yang mengepul inilah saksi bisu semua itu
kembali ke kodratnya.
Awan-awan
putih mengambang di udara seperti kapas yang tertiup angin. Warnanya putih
keabu-abuan dengan sekat-sekat hitam yang menggulung seperti rangkaian ombak di
pesisir pantai utara tanah Jawadwipa ini. Sesekali cahaya yang berkilau mencuat
diantara sekat-sekat hitam tersebut.
Angin yang
bertiup kencang di udara, menggerakkan rangkaian awan putih keabu-abuan dengan
sekat hitam yang sesekali cahaya muncul diantaranya menuju puncak Gunung Kampud
yang berada tak jauh dari tanah Terung. Semakin dekat!
Satu
persatu percikan air itu turun dari langit. Begitu pelan dan lembut,
merasakannya seperti ingin menari di atas panggung yang atapnya terbuka. Begitu
segarnya air yang menetes dan kemudian terjatuh di antara dua telinga, kanan dan
kiri. Kembali mengenang kembali seperti bocah kecil yang dibesarkan di pedesaan
yang asri.
Lama
kelamaan gerimis itu kian menjadi. Semakin kencang dan lebat sesekali angin
bertiup menggerakkan arah jatuh air yang menjadi sebuah gelombang yang indah.
Bocah kecil yang menari di atas panggung terbuka itu merasakan kedinginan dan
basah kuyup. Ibunya sesekali berteriak agar bocah itu segera pulang ke rumah.
Inilah
yang terjadi bantaran kali Bengawan Terung yang sejuk itu. Hujan mungkin rindu
akan tanah yang dahulu subur itu. Kini dia datang kembali untuk mengobati rasa
rindu berlebih itu dengan menuangkan seluruh muatan air yang dibawanya untuk
dinikmati oleh tanah yang merindukan air itu.
Air yang
menghujani tanah Terung tersebut kemudian mengalir mengikuti lekuk-lekuk tanah
yang menurun itu. Turunan tanah yang siap menuju kali Bengawan Terung yang
arusnya deras. Kali-kali kecil terbentuk disekitaran pasir delta sungai
tersebut. Saluran irigasi pun penuh dengan tumpah ruah air yang mengalir.
Petir
sesekali menyambar, mencuatkan cahayanya yang berkilau di antara sekat-sekat
hitam di mendung itu. Sesekali bayangan bocah yang berlari ke arah ibunya itu
terlihat jelas dari cuatan kilat itu. Kemudian disusul suara bergemuruh sangar,
yang menggelegar di langit Terung.
Sunan
Kalijaga, Raden Sengguruh dan Raden Trenggono berbasah kuyup menikmati hujan
yang begitu indahnya. Berbeda dengan yang lain, Kanjeng Sunan Kalijaga masih
tetap istiqomah dengan lantunan merdu detak biji tasbih yang saling bertubrukan
satu sama lain, menikmatinya dengan suatu lafal yang terus saja diucapkan
samar-samar di bibir indahnya.
“Shollallahu
‘ala Muhammad,” dzikrun nabi yang di lafalkan Kanjeng Sunan Kalijaga meski
masih sempat dari bibir yang keriput itu mengucap dengan keras lafal “Subhanallah
wal hamdulillah wa la ilaha illallah.”
Raden
Trenggono sesekali menyampatkan melirik bibir Kanjeng Sunan Kalijaga, dengan
penuh minat. Sesekali pula menyempatkan melirik biji tasbih yang terus berputar
di tangan waliyullah itu. Berputar seperti kodratnya kehidupan, terkadang ujung
pangkal tasbih yang oleh Kanjeng Sunan diberi tanda dengan ikatan simpul yang
mengikat kayu gahru, berada di bawah terdadang pula ujung itu berada di atas.
Berbeda
dengn Raden Sengguruh, kini ia kembali mengingat masa dimana terakhir kali
menginjakkan kaki di tanah Terung. Sekarang dirinya dipanggil kembali oleh
tanah yang diberikan oleh Prabu Brawijaya V kepada mendiang Raden Khusen
sebagai Adipati Terung II. Namun, sekarang ia mulai merasakan suatu hal yang
aneh terhadap dirinya.
Telah
menjadi suatu kebiasaan dari alam, ketika selepas hujan lebat turun membasahi
bumi, giliran kabut tipis mengantikan suasanya yang penuh dengan kesegaran yang
dingin. Kabut perlahan-lahan mulai menutupi jarak pandang indera penglihatan
manusia yang berupa mata dalam bentuk yang nyata. Namun, kehadiran kabut kali
ini bagi penglihatan yang lain yakni cara manusia memandang suatu kejadian alam
menggunakan bathiniyyah atau menggunakan mata batin, menunjukkan suatu
kejanggalan.
Raden Sengguruh
merasakan bulu kuduknya merinding, bagaimana tidak bila dihadapannya terdapat
bayangan yang terselimuti kabut, berupa bayangan wanita yang menggendong bayi
dan satu anak yang berusia lebih tua dari yang digendong. Raden Sengguruh
kembali mengingat kejadian dimana bertemu seorang petani yang aneh di ladang
sawah bersama kawan petaninya. Sebelum meninggalkan desa Selo di kaki Gunung
Merapi, Raden Sengguruh meminta izin kepada isterinya untuk pergi ke kota
Pengging. Namun, kini dihadapannya begitu samar-samar mirip dengan isterinya
dan kedua anaknya yang berada di Selo.
Lain Raden
Sengguruh lain pula bagi Raden Trenggono, dirinya merasakan kekuatan batin yang
sangat kuat, sangat-sangat kuat. Ia merasakan bahwa pakaian yang dikenakan dan
iket yang menutupi ramputnya itu terasa tidak pas ukuran tubuhnya, agak terlalu
besar bagi dirinya. Meski demikian, Raden Trenggono lebih tahu ketimbang
ayahnya, Raden Sengguruh.
“Paman
Kalijaga,” keluh Raden Trenggono.
Waliyullah
yang bernama kecil Raden Mas Syahid menoleh kearah Raden Trenggono yang
menarik-narik lengan surjannya. “Kenapa Anak Mas?” tanya Kanjeng Sunan Kalijaga
dengan nada lembut.
“Kenapa
Trenggono bertambah besar ya? Pakaian yang dipakai Trenggono rasanya tidak muat
di badan Trenggono,” keluh Raden Trenggono.
Sunan
Kalijaga sempat tertegun mendengar keluhan yang aneh tersebut.
“Woo,
lha kowe cen ki bodho!” jawab Kanjeng Sunan Kalijaga kepada Raden
Trenggono.
Raden
Trenggonolah kini yang menjadi tertegun mendengar perkataan yang dilontarkan
oleh Sunan Kalijaga kepadanya. Namun, Raden Trenggono mencoba memahami makna
dari apa yang dilontarkan oleh Kanjeng Sunan kepadanya. Bagaimana pun juga
beliau adalah salah seorang kekasih-Nya di pulau Jawadwipa ini yang tentunya
saja perkataannya selalu saja bisa menjadi suatu alamat ataupun rujukan.
Konsentrasi
yang mulai terkikis perlahan-lahan, dimana bayangan yang semula muncul itu
bergerak kearah Raden Sengguruh. Mulailah lekuk-lekuk tubuh serta geraknya
dapat diartikan oleh Raden Sengguruh. Detak jantungnya yang semula cepat kian
bertambah cepat.
“Anak Mas
Trenggono, mari kita pulang,” ajak Sunan Kalijaga.
Raden
Trenggono merasa kebingungan. Namun, lengannya sudah digenggam oleh tangan yang
terlihat otot-otot yang menjulang tersebut. Apa boleh buat, Raden Trenggono pun
mengikuti ajakan pulang tersebut.
Kabut
masih menyelimuti tanah Terung di bawah pemerintahan Adipati Terung II. Sungai
Bengawan Terung pun juga merasakan sesuatu hal yang aneh pula, mengapa beban
yang disangganya kini kian bertambah berat? Hujan yang turun dengan lebat
tersebut membuat debit air yang mengalir di atasnya bertambah banyak. Tanah
Terung pun tidak luput dari genangan banjir dari anak sungai Berantas itu.
Lembayung
senja kembali bersinar di antara reruntuhan mendung, hujan, dan kabut. Melihat
keindahannya, tentu saja membuat tubuh menjadi lebih hangat dari sebelumnya.
Beberapa mega menjadi berwarna kemerah-merahan terpantul dari sinar redup sang
Bagaskara.
Jatianom,
Jawadwipa.
“Ngger,
siapkan penjamuan di pawon, ada tamu agung yang akan datang ke sini!”
perintah Ki Ageng Gribig.
Seseorang
yang dipanggil dengan “ngger” oleh Ki Ageng Gribig segera bersendika
dawuh dan langsung bergegas menuju dapur. Beberapa temannya pun segera ikut
membantu kesibukan yang terjadi di dapur rumah Ki Ageng Gribig. Mereka setiap kali mendapat perintah dadakan
untuk membuat suguhan untuk tamu agung selalu dipenuhi pertanyaan-pertanyaan
yang butuh jawaban pasti. Siapakah yang akan bertamu?
Lembayung
Maghrib telah berlalu dengan cepatnya. Seolah-olah tak sabar inginnya menjemput
waktu isya’ yang berada di depan. Namun, sang waktu harus bersabar dengan
kejadian yang akan datang sebelum kumandang adzan isya’ di pondok Gribig. Harus
berjalan pelan, sesuai kodratnya.
Suara
ketukan pintu depan rumah Ki Ageng Gribig ternyata nyata adanya. Pertanda tamu
agnung itu telah datang. Namun, siapakah yang dimaksud oleh Ki Ageng Gribig
dengan tamu agung tersebut? Adakah orang tersebut memang agung di tingkat
derajad keluruhan dan keimanannya atau orang yang agung di tingkatan takhta
angkara?
“Assalamu’alaikum
Dimas!” salam orang itu setelah mengetuk pintu.
Adakah
tanggapan dari makhluk di dalam rumah?
Suara
deret pintu terbuka pun terdengar. Ki Ageng Gribiglah yang telah membukakan
pintu rumahnya sendiri itu. Terlihat satu orang tua dan satu anak. Siapakah
mereka?
“Mari
masuk kakang,” Ki Ageng Gribig mempersilakan.
Kedua tamu
itu pun mulai melangkahkan kaki di rumah Ki Ageng Gribig. Setelah beberapa depa
melangkah, kedua tamu itu dipersilakan duduk di tikar yang telah disiapkan
sebelumnya. Seperti apa yang pernah diperintahkan oleh Ki Ageng Gribig kepada
santrinya sore tadi.
Tak berapa
lama kemudian, salah satu santri Ki Ageng Gribig segera keluar dari pawon guna
mengantarkan secangkir teh hangat kepada tamu agung yang disebutkan tadi.
“Gerangan
apakah yang mengantar Kakanda Kalijaga untuk mampir di gubug dimas?” tanya Ki
Ageng Gribig.
Siapakah
tamu yang berkunjung di rumah Ki Ageng Gribig? Sunan Kalijaga dan seorang anak.
Siapakah anak tersebut? Para santri yang berada di pawon kembali mengepul,
mengepul tentang siapa yang menjadi tamu agung itu, dan siapakah anak
disampingnya itu.
“Kau tahu
siapa anak ini, Wasibagno?” tanya balik Sunan Kalijaga bukannya menjawab.
Ki Ageng
Gribig mencoba mencermati lekuk-lekuk tubuh dari anak tersebut siapa kira
mungkin ada bagian yang menunjukkan sebuah tanda anak siapakah yang berada
dihadapannya kini. Tanda yang mungkin saja ia kenal dari salah satu guru atau
sahabat lama yang setelah sekian lama tidak pernah bertemu.
Setelah
beberapa jenak Ki Ageng Gribig mengamati, “mohon maaf Kanda, dimas luma dengan beberapa
sahabat dimas, jadi dimas sulit untuk tahu dari marga siapa anak yang Kanda
Kalijaga bawa sekarang ini.”
Sunan
Kalijaga tampaknya tahu kesulitan yang dialami oleh Ki Ageng Gribig sehingga
manggut-manggut tergambar jelas dari gerak Sunan Kalijaga.
“Ini
adalah Raden Trenggono cucu Anakmas Khusen di Terung,” Sunan Kalijaga
memper-kenalkan kliennya.
Ki Ageng
Gribig harus memutar otaknya yang berada di dalam lapisan tempurung itu. Maklum
saja jika orang tua ini harus memeras ingatannya tentang sahabat-sahabatnya
dahulu. Tentang kenangan dimasa kala kanuragan miliknya adalah tak terkalahkan.
Tentang sebuah masa ketika masalah perpolitikan Majapahit di ujung pengunungan Seribu
yang membentang di selatan Jatianom.
“Anakmas
Arya?” tanya Ki Ageng Gribig menyebutkan sebuah nama yang tidak lengkap.
Sunan
Kalijaga menjawabnya dengan senyum yang terbalut kumis tebalnya. “Arya Damar,
Dimas,” Sunan Kalijaga membetulkan sebuah nama yang keliru dari Ki Ageng
Gribig.
Beberapa
tabuh waktu, kumandang adzan Isya pun tergema di bumi Jatianom. Satu per satu
bayangan merah yang mengisahkan tentang kehidupan matahari hari ini pun
berganti menjadi gelap. Tikus-tikus mulai berjalan angkuh di lorong-lorong
jalan yang membela tanah Jatianom. Beberapa santri dari Ki Ageng Gribig pun
ikut andil dalam mengisi lorong-lorong perkampungan itu.
Angin
berjalan dengan lembut di tengah padang hutan yang dibuka untuk perkampungan.
Selimut dingin dari helai-helai kabut yang mulai turun dengan biasnya menyuguhi
para tamu dengan suasana alam yang dingin. Sesekali terdengar bergeseknya
dedaunan rimbun di ujung kampung. Suara yang menyeramkan bagi anak-anak yang
bermain riang.
Obor yang
membara dengan apinya yang menyala-nyala mencoba menerangi sebuah lorong jalan
menuju sebuah tempat peribadatan pemeluk agama yang dikata dari langit itu. Lidahnya
menjilat-jilat udara sekitar dengan penuh bara yang panas, meski panas itu
harus tercuci dua puluh tujuh sungai sebelum dirinya turun sebagai panas di
bumi. Terkadang terang, terkadang pula surut cahayanya untuk menyinari lorong
tersebut.
Bayangan
Raden Trenggono terpaksa harus berganti-ganti gelap terang beserta
panjang-pendek tubuhnya. Berjalan pula pada bayangan itu seperti orang yang
sedang mabuk karena obor itu mata apinya selalu berubah-ubah kesana-kemari
sesuka hati. Bayangan itu kini hilang namun berganti dengan banyaknya bayangan
tubuh Raden Trenggono yang lain.
Tidak
terkecuali bulan yang bersinar pada malam itu dengan sinarnya yang belum
kiranya sempurna. Tampak pula langit malam bersih tanpa satu kelebat awan
cirrus yang menghias seperti kala biasanya. Rasi-rasi perbintangan pun tampak
jelas terlihat dengan mata telanjang, karena satu bintang dengan bintang
lainnya seperti membentuk suatu susunan yang seperti menjadi ilmu perbintangan.
“Sebuah
kehidupan yang sulit harus kau tempuh Mandaraka,” nasihat Ki Ageng Mangir
kepada Mandaraka.
Mandaraka
memunculkan raut muka yang bertampang sedih, seolah-olah melihat di depan
matanya berdiri tiga buah gunung yang tinggi-tinggi.
“Jika kau
adalah air, mengalirlah secara kodratnya menuruni tempat yang lebih tinggi.
Satu ilmu kanuragan yang kau genggam sekarang adalah ilmu kanuragan yang paling
tua, jika kau mampu menakhlukkannya, gunung yang menjulang di Perapen
itu pun akan mampu kau genggam.”
Mandaraka
menyiapkan sebuah gerakan membentuk lingkaran yang berdiameter kuda-kuda yang
ia buat sebelumnya. Menuruni alam bawah sadar seperti air yang mengalir dari
tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah dan mulai memasuki lingkup
paling sulit dalam hatinya yang bergolak penuh emosi.
“Takhlukkan
apa yang menjadi pikiran di hatimu, rasakan bahwa kau menginginkan sesuatu
tentang kehidupan lain, satu kehidupan yang berbeda dengan keadaanmu sekarang.”
Mulailah
Mandaraka merasakan air itu mengalir dengan lembut dan pelan menuruni otaknya
melalui syaraf-syaraf yang membangun tubuhnya. Selagi tetap penuh
berkonsentrasi dengan pemusatan pikirannya. Hawa yang dirasakan dari ilmu Cakra
Manggilingan memutar penuh tubuhnya kedalam pusara kecil.
“Jika kau
berhasil, selanjutnya kau harus tahu bahwa sudah tidak mampu lagi aku
menandingimu, dan kau harus belajar mandiri ilmu yang menghabiskan setengah
dari kesadaranmu itu karena aku tidak ada lagi untuk mu diselanjutnya.”
Pusara
angin itu kian membesar dan melalap tubuh yang kekar dari Mandaraka.
“Hush,”
suara angin yang melenyapkan Mandaraka dari hadapan Ki Ageng Mangir.
Desingan
suara bising yang timbul dari angin itu membuat Ki Ageng Mangir kagum sekaligus
memberikan kesan lebih kepada Mandaraka. Tentang sebuah tugas berat dan besar,
yang membuat batas normal manusia pada hakikatnya dengan sebuah ilmu
kedigjayaan yang selalu dipuja-puja harus dilenyapkan dari permukaan dunia yang
fana ini.
Gunung
Merapi yang kokoh, tinggi menjulang di utara tanah yang disebut sebagai Mangir
bersinar merah jambu di puncaknya, tidak seperti warna darah yang menggumpal
kemudian menjadi warna merah yang kusam. Asap yang menggulung tajam dengan
kecepatan yang sangat-sangat cepat dan sangat-sangat panas turun dengan
mengenyeramkannya.
Perjuangan
pertama kali oleh seseorang yang bernama Haruna di puncak Gunung Merapi. Ilmu
olah kanuragan khusus dipelajari dengan taat dan terampil oleh Haruna, karena
inilah sosok yang akan mendampingi gunung yang mengandung cerita-cerita mistis
hingga suatu saat ketika tua kelak.
“Aku
mengalami kesulitan untuk meredam magma yang keluar,” keluh Haruna dengan
menepisi peluh yang ada di jidatnya. “Huft.”
Hawa panas
disekeliling membuat peluh yang semula ada di dalam lapisan kulit menjadi
keluar untuk melampiaskan kegembiraannya karena telah bebas dari penjara kecil
itu. Wajah Haruna bak seperti banjir peluh.
Angin
mengubah arah kepulan asap menjadi membelok dengan tujuan yang berbeda pula.
Kenapa?
Angin itu
semakin membentuk suatu pusara yang kian membesar dengan kebawaanya.
0 comments:
Post a Comment