Mendung rupanya menggemuruh di ujung langit. Angin yang meniupkan awan itu dengan berani-beraninya menunjukkan sikap yang tak bertanggung jawab. Namun, apa yang terjadi kemudian adalah bukan menjadi kehendak angin yang dengan keras berusaha mendorongnya.
Apa yang terjadi?
Di balik timur gunung itu memuntahkan cahaya kuning gemerlap. Mendung itu pun lari tersentak melihat cahaya mentari pagi itu. Meskipun telah lari, jejak yang diberikan oleh mendung itu terlihat oleh mentari. Entah, mentari marahkah dengan keadaan yang demikian.
Embun yang bersahaja itu serasa menemani dinginnya pagi sebelum cahaya mentari yang mulai bersinar. Kabut yang melayang-layang riang seperti memberi kesempatan pagi yang segar itu belum akan berujung panasnya mentari. Udara memang bersih namun apa yang ditimbulkan adalah dingin yang berlebih.
Dingin tanpa ujung itu memberi kesan indah bagi burung sriti yang terbang seolah tak memperdulikan apa pun kecuali sarangnya di bawah atap rumah-rumah penduduk. Burung itu terkejut, kenapa orang-orang di rumah masih terpejam matanya, masih terpejam mata hatinya yang terlelap dengan mimpi-mimpi indah.
Burung sriti itu terpaksa berlari setelah dari kejauhan terdengar derap kaki kuda yang berderap kencang. Hanya seekor kuda dengan pengendara yang amat menyesalkan. Biasanya debu mengepul mengejar larinya kuda, namun sekarang tidak ada apa-apa di belakang kuda yang berderap kencang itu.
Setelah semakin dekat.
Warga daerah tersebut tergugah dengan derap kuda yang begitu keras. Kerasnya hingga dapat memecahkan keheningan pagi. Tidak hanya keheningan yang terpecah, namun kecemasan warga pun terpecah. Ibu meminta kejantanan suaminya, sedangkan anak meringkul kedua kaki orang tuanya. Ketakutan itu terus saja membayang hingga suara derap orang berkuda itu lepas di tapal desa.
Kini giliran burung cataka atau rajawali yang melenggang diangkasa mencari sarapan pagi di pasar, jika ada. Kini mata yang tercipta tajam di burung itu memerhatikan dari sebuah arah dengan penuh pengharapan. Harapan dari arah itulah sang makanan pembuka hari keluar. Namun ketika muncul sosok berkuda, rajawali itu murung tujuh kepurung. Dengan tajam ia perhatikan orang itu.
Sosok orang yang belum dikenali oleh cataka itu.  Dari kudanya saja telah terbukti bahwa kuda itu memang kuda pilih tanding, kuda pilihan. Tentunya saja orang yang memilih itu pun bukan orang sembarangan. Dari cara berkudanya pula menandakan bahwa orang yang berkuda itu bukanlah orang awam.
Orang itu bertubuh tegap dengan dada yang membusung jantan. Bajunya yang berbatikkan bunga kenanga sedang mekar dengan ikat kepala yang menggambarkan dirinya adalah orang penting dari kelembagaan keprajuritan. Tapi keanehan terjadi, orang itu menyelipkan bunga melati diantara ikat dan telinga. Dia bernama Mandaraka.
Kemana tujuan orang yang bernama Mandaraka itu pergi?
Ada sebuah bangunan tua di ujung jalan yang tertempuh Mandaraka. Dan tepat disanalah Mandaraka akan singgah dengan sebuah keperluan yang tak pernah di duga sebelumnya. Bangunan itu berdiri dengan corak jogjo yang khas. Entahlah apa guna bangunan seperti ini di tempat seperti ini. Untuk mengamati pergerakan magma yang mungkin saja keluar dari puncak gunung itu.
“Mandaraka,” bisik yang terdengar di gendang telinga Mandaraka.
Mandaraka terkejut, namun tidak untuk mengurangi kecepatan laju tunggangannya. Satu yang membuat Mandaraka memelankan laju kudanya karena bisikan itulah yang berasal dari bangunan itu. Bisikan yang terpesan dari guru kanuragannya di tempat ini. Bisikan itu pula ilmu yang diajikan oleh gurunya.
Semakin dekatlah Mandaraka dengan bangunan itu. Bangunan yang cukup tua, sebagai tempat mengamati pergolakan magma dari dalam perut bumi. Dan guru Mandaraka itulah pewaris ilmu dari leluhurnya untuk menjaga Gunung Merapi.
Orang yang telah cukup umur untuk membaur menjadi tanah lagi, berjalan menuruni beberapa anak tangga di bangunan itu. Satu persatu terlewat dengan jalan yang cukup tertatih. Mandaraka yang menyaksikan itu segera meloncat dari punggung kuda tunggangannya. Gerakan yang cukup gesit menyebabkan Mandaraka segera bersanding di tubuh gurunya.
“Kakang Haruna!” teriak Mandaraka.
“Haruna sedang di puncak gunung Anakmas,” jawab orang tua si samping sang peteriak.
Mandaraka tersentak dengan ucapan guru yang mengasuhnya itu.
Tanpa memikirkan jawaban itu, Mandaraka menuntun guru yang membimbingnya saat kecil untuk duduk di pendapa. Agar leluasa dengan bicara orang tua. Mandaraka sepenuhnya tahu akan hal kecil itu.
“Hamba menghadap Guru,” sembah Mandaraka memulai pembicaraan.
Orang tua itu hanya menganggukkan kepalanya dengan ringan seperti terduyun angin pagi.
“Aku telah bersepakat dengan Hyang Widdi Yang Esa tentang sebuah tugas amanat yang mungkin sangat berat bagi mu untuk kau emban,” guru tua itu memulai membicarakan keperluannya mengundang Mandaraka. Helaan nafas yang panjang membuat paru-paru orang tua itu terisi penuh dengan udara sesegar pagi kala itu.
“Satu takdir yang akan membuat diri kamu akan seperti tersiksa oleh kewajiban itu. Kau akan merasa dirimu kuat namun sejatinya kau tersiksa dengan keadaan seperti ini. Kau tahu apakah itu artinya?” tutur manusia tua itu.
Mandaraka yang menyimak dengan cermat menjawab pertanyaan itu hanya dengan menggelengkan kepala yang menandakan bahwa dirinya tidak mengetahui apa pun.
“Sebuah takdir itu hanya terdapat pada tangan mu. Namun, aku harus mencampurinya karena takdir yang semula melekat pada Haruna harus dipindahkan di tangan yang mampu. Dan, orang yang terpilih itu adalah seorang bangsawan dari sebuah negeri baru,” jelas orang tua itu.
Timbullah sebuah pertanyaan dari benak Mandaraka.
“Dan orang itu hamba, Guru?”
Embun yang menetes penuh sahaja itu memenuhi semua lapisan teratas dari lantai-lantai di pendapa tersebut. Seperti yang menjadi kodratnya sejak embun itu tertakdir di dunia sebagai pelengkap kesejukan hati manakala berada di daerah subur lereng gunung. Hati mana yang tidak merasakan kesejukan itu ketika memandangi alamnya.
“Benar Anakmas.”
Sebuah jawaban yang terlempar dari bibir yang tertakdir untuk berbicara. Ayah dari anak yang bernama Praba Haruna.
“Kau akan mengalami sebuah perjalanan hidup yang berbeda Mandaraka. Kau akan banyak mengalami sebuah fase dimana hidup seorang Mandaraka hanya dibuat seperti kebingungan karena beban mu berbeda.”
Mandaraka merasa tercengang mendengar apa yang baru saja ia perdengarkan dari sebuah perkataan gurunya.
“Apalah arti dari semua itu Guru?”
Kini seperti tersindir guru Mandaraka mendengar pertanyaan tersebut.
“Kau harus mempelajari kembali ilmu-ilmu olah kanuragan Anakmas.”
Mandaraka mencuatkan alisnya yang semula tenang itu.
“Kau harus mengusai kembali semua jurus pamungkas dari setiap perguruan kanuragan di tanah ini. Mempelajarinya kembali akan membuat kau ingat seperti yang pernah kau lakukan di zaman dahulu.”


Angin pagi yang mendesis membuat sebagian daun yang kedinginan terpaksa menggugurkan dirinya sendiri ke tanah. Namun, yang daun itu dapat adalah tanah yang juga dingin bahkan tanah itu pun berair. Daun yang putus asa itu lantas menangis sejadi-jadinya sehingga tubuhnya yang dingin itu berair.
Rajawali yang mengintai Mandaraka sejak di muka jalan, kini mengintai tikus yang sedang beraksi di luar rumah seorang penduduk. Tatapan tajam dari mata sang rajawali itulah tikus-tikus yang beraksi tidak bisa menghindar dari ancaman rajawali yang lapar. Berlari kesana-kemari bukanlah hal yang baik dilakukan oleh tikus-tikus itu, tetapi hanya bersembunyilah hal yang pantas mereka lakukan saat ini.
Mentari kian meninggi sesuai dengan jadwalnya. Para pedagang dari kota raja Glagah Wangi terus berdatangan dengan hadirnya pasar Ngandayaningrat di dekat kota raja Pengging. Sapi-sapi yang tubuhnya besar-besar itu menarik beban berat di belakang tetap menunjukkan kegigihan sapi-sapi itu.
Hanya para petani yang terkejut dengan hal itu. Mengapa orang kota berpindah ke desa. Sebuah pertanyaan para petani yang tak mungkin terjawab tanpa melakukan sebuah tindak lanjut yang terjamin kepastiannya mengapa orang-orang kota berpindah ke Pengging.
“Ingat dengan putra Kakang Kebo Kenanga almarhum?” tanya seorang petani kepada temannya yang sedang mengelus-elus cangkul kesayangannya.
“Apa maksudmu dengan putra Kakang Kebo Kenanga?” tanya balik petani itu.
Petani pertama hanya bisa mengelus-elus dadanya yang setengah berdesir itu.
“Wahyu itu sudah digapainya,” gumam petani pertama itu.
Gumaman itu membuat petani disekeliling petani pertama tercengang. Wajah-wajah itu penuh pertanyaan yang harus terjawab dengan segera karena kata-kata yang terucap dari petani pertama hanya sepenggal kalimat yang kurang jelas. Wahyu apa itu?
“Anakmas Karebet telah mendapatkan Wahyu Kedaton. Wahyu yang diperebutkan oleh para sanak saudara Pangeranku Trenggono. Seletah terbunuhnya Kyai Kali Nyamat dan Sunan Prawata ternyata Anakmas Karebet mengambil alih kekuasaan. Inilah takdir itu,” jelas petani itu dengan singkat namun memberi kesan aneh di wajah petani disekitarnya.
Petani yang mengelus-elus cangkul tadi kini mengamati keadaan yang berbeda. Tatapan mata itu sangat tajam, bahkan seekor rajawali yang mengamati Mandaraka kalah tajamnya dari petani yang satu ini. Tajam sekali, seolah-olah petani ini sangat mumpuni dengan ilmu ajian yang bernah dipelajarinya di Gunung Merapi.
“Eh, tunggu dulu Pak Tua! Kau bukan petani daerah sini bukan?” petani yang sayang sekali dengan cangkul itu berkata.
Petani yang dipanggil Pak Tua itu memalingkan wajahnya dan segara melangkah dengan santai menuju arah selatan. Caping yang menutupi wajahnya jelas saja tidak banyak orang yang tentu mengenalinya sejauh mungkin. Jika rahasia dari caping itu terbongkar maka dirinya akan disembah-sembah, dipuji-puji.
“Hey! Jangan pergi dulu Pak Tua!” teriak petani bercangkul itu.
Teriakan itu hanya dibalas dengan menghilangnya petani misterius itu di tengah ladang yang tengah digarap.
“Siapa dia Kakang?” tanya istri petani bercangkul itu.
“Dia Sunan Kalijaga,” jawab petani itu.
Siang tanpa mendung yang menggulung ternyata dapat pula menggetarkan tanah pijakan seperti tersengat petir yang menyambar-nyambar. Gelegar itu cukup mengagetkan para petani. Rasa was-was pada panenannya kini kian menjadi. Namun jauh dari itu, Petani itu menjadi sadar akan sesuatu yang kasat mata tidak mereka ketahui.
“Aku akan mengabdikan diri menjadi prajurit, tapi kalian semua jangan ada yang mengikuti langkahku, karena prajurit membutuhkan petani, petani juga memerlukan prajurit. Akan aku perdengarkan bahwa daerah inilah kebutuhan beras itu terpenuhi,” orang berpacul itu berucap tanpa berfikir apapun. Bebannya bukan beban lainnya.
“Kanjeng Sunan tadi menyampaikan pesan bahwa di tanah Pengging ini akan menjadi sebuah pusat pemerintahan mengantikan Glagah Wangi. Pastinya disertai dengan pertumpahan darah untuk menjaga wahyu agar tidak didapatkan oleh orang yang bertangan kotor. Tangan yang hanya memegang pedang sesekali mengayunkannya untuk merenggut nyawa orang tak bersalah hanya dengan iming-iming takhta,” lanjut orang itu.
Berdesir tajam semua petani yang berkumpul di tempat itu. Kebanyakan petani tidak tahu menahu tentang seluk beluk takhta angkara kini ada seorang petani yang kerjaannya mengelus-elus pacul namun berwawasan sundul langit. Apa yang dikatakan oleh petani bercangkul tadi itulah yang menyebabkan tatapan sinis mengarahkan kepada sudut pandang negatif.
“Kalian tahu? Pengging hanyalah pelantara pengganti Glagah Wangi. Bukan Pengging yang menjadi kerajaan besar namun setelah kemelut Demak Bintoro teratasi muncullah masalah lain yang akan menyebabkan Pengging kosong lagi. Pengging hanyalah pelantara munculnya kerajaan seperti Majapahit dahulu,” tambah lagi orang itu.
Petani bercangkul itu berbalik menatap wajah-wajah yang lusuh mengelilingi dirinya. Satu persatu wajah ia perhatikan dengan cermat tanpa kurang suatau apa dan hingga tatapan mata berakhir di wajah sang isteri yang disayanginya. Isteri yang melengkapi selama ini dalam anggota keluarga.
“Ibu, aku akan pergi ke Pengging. Jaga anak-anak kita sebaik mungkin. Setiap seminggu sekali aku usahakan untuk berpulang ke rumah mengobati rinduku pada kalian semua. Termasuk petani-petani kecil disini. Aku akan selalu mengabarkan apa yang terjadi di calon kota raja Pengging. Sekarang pun aku berangkat. Aku ditunggu Kanjeng Sunan di tepi sungai itu,” ucap petani itu sambil memegang tangan kekasihnya yang amat sangat ia cintai.
Seorang petani lain menyampatkan maju ke hadapan calon abdi kerajaan itu. “Kakang, jaga dirimu baik-baik di kota sana. Jangan lupa dengan pacul mu yang selalu kau urus itu!”
Petani bercangkul itu tertawa terkekeh-kekeh.
Angin mulai bergemulai dengan debu-debu yang sesekali mengepul. Panas pun kembali menyergap sebagian muka bumi. Namun, di bagian lain dari bumi kini berubah menjadi gelap dan dingin. Keringat-keringat pekerja keras pun mulai terkuras hingga perlu istirahat untuk memulihkannya. Kini mentari itu tepat berada di atas kepala manusia nun jauh disana.
Tak seberapa jauh dari para petani itu.
“Kau sudah tahu aku ternyata?” tanya Sunan Kalijaga kepada petani berpacul yang pernah disapanya belum lama ini.
Petani itu terpejam beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan dari orang yang sangat dikenalnya.
“Bukankah Paman Kalijaga juga tahu aku?” tanya balik pertanyaan Sunan Kalijaga.
“Kau aneh!” seru Sunan Kalijaga sambil membuka caping yang menutupi ikat kepala khas Sunan Kalijaga.
Petani itu termanggu beberapa saat. Mencerna apa maksud kata “aneh” itu.
“Aneh bagaimana Paman?” tanya petani itu akhirnya.
Sunan Kalijaga memamerkan rambutnya yang kian panjang dan terurai.
“Bagaimana rambutku? Kalau kala rambutku memanjang seperti ini, aku kembali teringat kepada Berandal Lokajaya yang berusaha memeras tongkat emas Kanjeng Sunan Bonang yang seusia lebih muda dariku. Terjadilah tarik menarik tongkat itu. Aku tarik tongkat dengan keras, Kakang Bonang justru mendorongku dengan keras, aku yang tidak terima kala itu aku dorong tubuh Kakang Bonang hingga terjatuh tak berdaya di tanah,” cerita Sunan Kalijaga tentang masa lalunya.
“Kemudian Paman tertawa terkekeh-kekeh seperti orang tak berosa. Tetapi apa yang dilakukan oleh Paman itu membuat Paman Bonang berusaha bangkit dan tanpa sengaja Paman Bonang mencaput rumput yang berada digenggaman tangannya,” lanjut Petani itu.
“Ternyata putera Anakmas Terung tahu persis tentang aku,” puji Sunan Kalijaga sambil membenahi ikatnya yang terobrak-abrik terkena caping.
Petani itu bernama Sengguruh putera Adipati Terung atau mempunyai nama yang cukup membuat jantung berdesir, yakni Raden Khusain.
“Kau tidak di selatan bersama adik mu?” tanya Sunan Kalijaga.
Sengguruh termenung.
“Kemarin aku sehabis bertemu dengannya. Ternyata kau lebih pintar dari adik mu. Adik mu bodho sekali. Aku mendapati anak muda itu menabur garam di sekeliling pohon kelapa. Ketika aku tanya mengapa ada garam disini, ia menjawab dengan culas, agar beruk tidak menaiki kelapa itu. Aku tunggu beberapa saat ketika ada seekor beruk mencoba naik tetap saja beruk itu bisa naik,” sahut Sunan Kalijaga.
Sengguruh kembali termenung.
Perputaran waktu kemali terjadi di dalam pengingat-ingat Sengguruh. Bayangan demi bayangan masa lalu itu berputar kembali dalam sekat pikiran-pikiran yang kosong. Kejadian itulah yang menyebabkan Sengguruh serasa bermimpi kembali ke masa lalu bersama keluarga tercinta. Matanya kini mulai terpejam menjelaskan bahwa dirinya tengah menerawang waktu ke masa lalu lagi untuk kedua kalinya.
“Kau ini mau tidak menjadi penerusku?” bentak Adipati Terung.
Raden Trenggono tetap tidak bergeming mendapati bentakan dari ayahnya. Dengan sangat tegas Trenggono menjawab, “Tidak ada dunia pun aku tidak mau menjadi seorang pejabat Ayah! Serahkan saja kepada saudara-saudara ku!”
Adipati Terung memejamkan mata untuk menghilangkan amarah yang tengah berada di puncak namun semua usaha itu sia-sia.
“Trenggono!” teriak Adipati Terung dengan suara yang agak serak. “Keluar dari rumah ini, dan jangan sekali-kali injakkan kaki mu lagi di rumah ini!”
Bentakan itu dijawab Raden Bagus Trenggono dengan cekat. Dirinya meloncat keluar melalui jendela kemudian menghilang entah kemana. Angin mungkin membawanya, tetapi membawa Trenggono ke tempat macam apa. Ataukah Trenggono dimakan bumi dikunyah hingga antar tulang-tulang bergesekan dan akhirnya melebur menjadi satu dengan bumi itu sendiri.
Dari pintu depan terdengar suara ketukan pintu.
Adipati Terung segera membukakan pintu meski wajah amarah itu jelas terlihat dari tampang brengosnya yang lebat dan khas Adipati Terung.
“Paman Wanasalam,” desis Adipati Terung.
Patih Wanasalam segera membungkuk hormat kepada adik raja Glagah Wangi.
“Paman!” teriak Sengguruh kecil.
“Ini Sengguruh, Anakmas?” tanya Patih Wanasalam kepada Adipati Terung.
Adipati Terung sesegera mungkin menyimpan rapi amarahnya kepada Raden Trenggono.
“Benar Paman, ini bocah kecil yang dulu itu,” jawab Adipati Terung.
Sengguruh kecil kemudian risih dengan tangan Patih Wanasalam yang sejak tadi mengobrak-abrik rambutnya yang rapi.
“Aku sudah tak ingat lagi aku bertemu adik ku kapan Paman Kalijaga,” tutup Sengguruh.
Sunan Kalijaga hanya mengangguk-angguk kecil.
Angin kembali berdesis. Udara yang semula melintir dirinya sendiri kini bertambah besar. Rambut Sunan Kalijaga yang panjang itu terkibas angin yag deras itu. Namun, Sunan Kalijaga hanya bersikap acuh tak acuh. Angin itu bertambah deras dengan mendekatnya Kanjeng Sunan Kalijaga. Setelah berjalan beberapa depa dari tempat semula, tubuh Sunan Kalijaga hilang diterbangkan angin.
Daun-daun kering pun tak luput dari serangan angin itu, melayang berserakan di udara. Angin itu membawa daun-daun berterbangan. Sesaat setelah memenuhi udara, daun-daun itu jatuh perlahan ke tanah. Dan kini daun-daun itu berserakan tak terurus di tanah, benar-benar seperti tak tersentuh manusia.
Namun ketika seekor kuda melintasi tanah itu, daun-daun yang berserakan kembali melayang terbang bebas. Sesaat kemudian melayang turun kembali setelah beberapa jenak di titik balik. Kembali lagi berserakan seperti semula dengan beberapa kerapian. Dedaunan itu membentuk sebuah pematang jalan yang lurus dilintasi kuda tadi meski masih tetap berserakan.
Seorang prajurit. Orang berkuda itu adalah prajurit. Prajurit yang cerdik, tangguh, dan mumpuni. Banyak orang yang menganggap dirinya adalah titisan Prabu Mahapatih Mpu Mada, seorang Maha Patih di zaman kejayaan leluhur Demak Bintara, yakni Kerajaan Majapahit. Namun, secara kenyataan prajurit ini tidak seperti Gajah Mada.
“Takdir yang tidak masuk akal,” gumam prajurit itu.
Prajurit itu terus memasuki kota raja Pengging. Begitu beberapa depa dari pintu gerbang, prajurit itu tertegun melihat barisan teman-temannya mengiringi seseorang yang dadanya terbuka sehingga siapa pun melihat bidangnya yang mempesona, wajahnya yang penuh wibawa nan sangar. Ikat kepalanya berwarna hijau tua yang mencolok mata siapa pun yang melihatnya.
“Kakang Tingkir,” desis prajurit yang berlainan arah itu.
Kemunculan prajurit yang berlainan arah dan cuma satu orang itu mengundang perhatian orang yang disebut oleh prajurit berlainan kepentingan itu dengan Tingkir.
“Darimana saja kamu Mandaraka?” tanya Sultan Hadiwijaya kepada prajurit itu.
Prajurit itu segera membungkuk hormat.
“Hamba dari menemui guru hamba di lereng Merapi, Kakang Sultan,” jawab Mandaraka.
Tanpa basa-basi Sultan Hadiwijaya mengajaknya, “Aku akan menemui Kangmbok Nyi Kali Nyamat, kamu mau ikut ndak?”
Mandaraka memutar otaknya seperti bulus itu.
“Mohon maaf Kakang Sultan, hamba ada kepentingan yang mendesak,” jawaban Mandaraka terhadap ajakan Sultan Hadiwijaya itu.
Sultan Hadiwijaya hanya menggangguk kemudian mengenarik tali kudanya. Beberapa pengawal itu pun melakukan hal yang serupa. Debu pun kembali mengepul dibelakang pasukan berkuda itu. Mandaraka yang masih tetap duduk di atas punggung kuda hanya mengibas-kibaskan telapak tangannya di depan wajah.
Mandaraka kembali menegaskan takdirnya. Kuda yang ditungganginya segera melejit ke sebuah rumah di pojok belokan. Rumah yang cukup sederhanya milik adik perempuan Mandaraka. Sepi rumah itu dari luar. Entah jika di dalamnya ada pertemuan. Mengingat jabang bayi yang di kandung olehnya sebentar lagi pasti keluar.
“Adi!” panggil Mandaraka.
Sesaat tak terjawab pula panggilan itu, namun setelah beberapa jengkal waktu terlewati barulah sebuah jawaban keluar dari dalam rumah.
“Masuklah Kakang!” jawaban yang terdengar keras, jawaban dari seorang lelaki bukan adik perempuan Mandaraka yang tengah berbadan dua.
Pintu yang semua tertutup, perlahan mulai terbuka dengan munculnya sesosok tubuh. Tubuh itu milik Mandaraka.
“Adik ku dimana Adi?” tanya Mandaraka kepada lelaki di depannya.
Lelaki di depan Mandaraka hanya terdiam saat pertanyaan dari kakak iparnya itu keluar.
“Adik mu ada di dalam bersama seorang emban keputren dari Istana,” jawab lelaki itu dengan suara yang lemah.
Mandaraka tertegun. Jantungnya berdetak lebih kencang dari sesaat yang lalu. Keringatnya mulai membasah di pelipis.
“Aku akan segera menjadi seorang Paman. Paman Mandaraka?” gumam Mandaraka.
Orang yang mendengar gumaman Mandarakan seakan-akan ingin segera meluapkan isi hatinya untuk tertawa namun segera dibentung karena seperti tidak menghormati kakak iparnya sendiri untuk merasa bangga menjadi seorang paman. Hanya senyum khas dari orang berkumis tipis menuntunnya untuk meluapkan hasrat tertawanya.
“Aku sudah punya adik mu, kapan kau menuruti hasrat manusiawi mu Kakang?” tanya orang itu.
Mandaraka tersenyum sinis mendengar ucapan dari adik iparnya itu.
“Aku tak suka kau mengataiku seperti itu Adi, Adi Panjawi juga belum punya,” jawab Mandaraka dengan nada yang cukup untuk meluapkan rasa panasnya.
Orang berkumis tipis itu hanya menggeleng-gelengkan kepala.
“Hm, kau punya sumbangan nama Kakang untuk calon kemenakan mu itu?” tanya orang itu mengalihkan pembicaraan.
Mandaraka memutar kembali akal bulusnya yang penuh dengan jalan berlorong itu.
“Sutawijaya kau mau?” timbang Mandaraka setelah menemukan sebuah nama dari akalnya.
Orang berkumis itu hanya mondar mandir. Adik ipar Mandaraka itu kembali merasa terganggu dengan mimpinya semalam yang aneh itu. Berusaha untuk menutupinya sama saja membungkam takdir dari anaknya.
“Kau dapat nama itu dari mana?” tanya orang itu dengan resah.
Mandaraka setengah bingung akan menjawab apa, sebab nama itulah yang kemudian muncul dalam benaknya. Keringat dingin kembali membasahi pelipis Mandaraka.
“Nama itu hanya gambaran orang yang tangguh seperti Gajah Mada dulu, cakap seperti Pangeran Djin Bun yang membangun negara Demak Bintara, sakti mumpumi seperti eyangnya Ki Ageng Selo,” jawab Mandaraka dengan cepat.
Mandaraka kemudian berjalan mondar-mandir layaknya bingung. Tak kalah terperanjatnya orang lain di ruangan itu mendapati ucapan yang mengetarkan dinding ruangan itu. Mimpi itu jelas-jelas akan menjadi kenyataan jika nama Sutawijaya dipakainya sebagai nama keturunannya. Mimpi yang menjadi takdir anak turunnya.
“Adi Pemanahan, kau mungkin akan bingung dengan semua kejadian yang menimpamu belakangan ini. Terkadang itu tak masuk akal namun sejatinya itulah sebuah takdir di masa akan datang,” ucap Mandaraka.
Senyap kemudian mengalir dengan tenang dan menghanyutkan.
“Aku pergi dari Pengging! Aku keluar dari keprajuritan! Aku akan berguru kepada Ki Ageng Mangir di selatan sana!” tegas Mandaraka dengan bergegas membuka pintu dan lenyap di balik pintu.
Senopati Pemanahan hanya bisa diam membeku di tempat. Apa yang akan dikerjakannya seolah-olah hanya angan-angan yang cukup untuk didiamkan di pikiran. Mulut Pemanahan hanya terkatup lem yang berkwalitas jelek namun pengaruh kerekatannya sungguh terjamin. Tatapan matanya sayu tak bernafsu.
“Danang Sutawijaya, aku titipkan kepadamu Anakmas Pemanahan,” ucapan Ki Ageng Selo kembali menggema di lamunan Pemanahan.
“Danang Sutawijaya siapa?” tanya Pemanahan kepada Ki Ageng Selo.
“Jabang bayi mu Pemanahan,” jawab Ki Ageng Selo dengan jelas.
Berdesir tajam hati Pemanahan. Bayi yang dikandung Nyai Sabinah adalah darah Ki Ageng Selo. Darah kakek Pemanahan jelas turun di darah pemuda yang gagah itu.
Pemanahan jelas mengingat mimpi yang dialaminya tiga kali berurut-turut itu. Gambaran kakeknya yang dipajang di dinding rumah seperti nyata adanya, seperti benar-benar ada di depan mata Pemanahan malam itu. Di sentuh pula nyatalah tangan kusut kakeknya, tangan yang pembuluhnya tampak kasar itu.
Takdir aneh kini terdapat di tangan Pemanahan, tidak hanya di tangan kakak iparnya, Mandaraka. Takdir tentang sebuah masa dimana masa lalu adalah sejarah dan masa akan datang adalah masa modernisasi global. Entah apalah itu, namun takdir itu jelas menuntun setiap orang yang memilikinya.
Hanya orang-orang tua yang menyembunyikan rahasia waktu itu. Waktu dimana titik balik peradaban manusia di bumi ini. Waktu di mana ilmu mawas diri dengan ilmu-ilmu nenek moyang mudah di goyangkan dan kemudian lenyap dengan sendirinya. Waktu siap menghapus semua kenangan kadigjayaan masa lalu untuk menghadapi masa dimana teknologi maju dengan pesat.
Pemanahan kembali mondar-mandir di depan pintu dimana Sutawijaya tertidur. Anak yang baru saja menapaki jelajah dunia itu mendekap di samping ibunya yang mengelus-elus rambut Sutawijaya. Emban yang dibawa Pemanahan masih berada di samping Nyai Sabinah.
“Bagaimana Emban?” tanya Nyai Sabinah.
Emban itu segera memposisikan diri sebaik mungkin.
“Anaknya tampan Nyai, seperti ayahnya,” jawab Emban Ragasuti.
Nyai Sabinah tertegun, diri nyai kembali ingat siapa yang harus bertanggung jawab atas kehamilannya.
“Emban, Kakang Pemanahan mungkin telah tidak sabar melihat momongannya,” kata Nyai Sabinah membayangkan Pemanahan tersenyum puas.
“Saya panggilkan Nyai?” tanya emban Ragasuti.
Nyai Sabinah menjawabnya dengan mengangguk tanda setuju.
Berdirilah sesosok pengabdi kesultanan itu, Emban Ragasuti. Emban itu bergegas membuka tirai yang menutupi kamar dan ruang itu. Tampak Pemanahan yang duduk di atas lincak.
“Kakang Pemanahan, jabang mu sudah lahir, siap untuk dilihat,” kata Emban Ragasuti kepada Pemanahan yang duduk-duduk itu.
“Aku akan menemuinya,” jawab Pemanahan dengan penuh sesak di dada.
Pikiran itu kembali melayang di benak Pemanahan. Kegundahan hati Pemanahan tidak bisa terelakkan. Bayangan kakeknya terus saja mengikuti kemana pun diri Pemanahan pergi. Bayangan yang muncul di kelopak mata Pemanahan itu terus saja memberikan sebuah wejangan kepada cicitnya yang amat disayangi Ki Ageng Selo.
Nyai Sabinah tersenyum ketika tirai terbuka, suaminyalah yang membuka. Namun, senyum itu berubah menjadi pertanyaan ketika suami Nyai Sabinah terlihat murung.
“Ada apa Kakang?” tanya Nyai Sabinah.
Pemanahan hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu.
“Kakang?” tegas Nyai Sabinah.
Pemanahan hanya diam dengan senyum kecutnya. Pemanahan kemudian tertuju kepada bayi yang tertidur pulas di pelukan ibu kandungnya.
Telinga awas Pemanahan segera berlari ke arah pintu depan ketika suara ketukan itu menganggu konsentrasinya. Mungkin Pemanahan akan marah-marah kepada orang tidak berdosa yang berani-beraninya mengetuk pintu rumahnya. Mungkin pula Pemanahan akan menghajar orang yang yang mengetuk pintu itu.
Rontok hati Pemanahan melihat siapa yang mengetuk pintu rumahnya. Pecahan hati itu mungkin hanya terdengar oleh Pemanahan sendiri. Benar-benar sayu Pemanahan melihat orang yang dihadapannya setelah pintu itu terbuka.
“Anakmas,” panggil orang dihadapan Pemanahan.
Seketika pula Pemanahan tertunduk dan memberi sembahnya dengan mencium lutut orang itu. Pemanahan bingung bagaimana adabnya kepada sesama orang tetapi yang dihadapinya adalah manusia mulia disisi Tuhan.
“Sudah sudah!” kata orang itu sambil mengangkat tubuh Pemanahan yang mencoba berlutut kepada dirinya.
Pemanahan hanya menuruti tangan orang yang mengangkat tubuhnya.
“Kanjeng Sunan,” gumam Pemanahan sekali lagi setelah sebelumnya dirinya bergumam demikian.
Sunan siapakah yang menemui Pemanahan?
“Aku tadi sempat bertemu kakak iparmu di selatan,” Kanjeng Sunan mengawali, “Dirinyalah yang bercerita kepada ku tentang bayimu. Maka aku sempatkan untuk mampir ke gubuk ini. Boleh kan Anakmas Pemanahan?”
Pemanahan tidak mungkin menyembunyikan warna perasaan yang aneh.
“Selatan? Dimana Kanjeng Sunan?” tanya Pemanahan aneh.
“Aku sehabis mengantarkan Anakmas Sengguruh ke hadapan adiknya Trenggono kemudian aku mampir di tanah Mangir. Di tanah Mangir itulah aku bertemu dengan Anakmas Mandara yang tengah semedi dibimbing Ki Ageng Mangir,” jawab Kanjeng Sunan.
Pemanahan terkejut mendengar nama-nama yang disebut-sebut oleh Kanjeng Sunan. Tidak kalah terkejutnya jika memutar waktu ke beberapa jengkal yang lalu, dimana Mandara bersi tegang dengan Pemanahan di ruang tamu hingga Mandaraka minggat.
“Sengguruh?” tanya Pemanahan.
Kanjeng Sunan menahan ludah agar tetap berada di tempat sebelum selesai menceritakan sesuatu kepada orang di hadapannya.
“Sengguruh dan Trenggono adalah putera Raden Khusain di Terung,” jawab Kanjeng Sunan.
“Owh,” gumam Pemanahan.
Kanjeng Sunan kemudian masuk ke ruang tamu tanpa dipersilakan oleh tuan rumah.
“Mana bayimu?” tanya Kanjeng Sunan.
Pemanahan gugup setengah mati. Namun, segera sebagai orang yang piawai di dunia keprajuritan kegugupan itu hilang dan kini muncullah aura yang menjanjikan.
“Mari hamba antar,” kata Pemanahan sambil membimbing Kanjeng Sunan untuk memasuki ruang dimana Sutawijaya berada.
Emban Ragasuti sedari tadi hanya bisa mengelus-elus dadanya saja.
Nyai Subinah kaget bukan kepalang ketika yang membuka tirai itu bukan suaminya tetapi orang yang dianggap sebagai waliyullah.
“Sudah kau adzani bayi mungil ini Anakmas?” tanya Kanjeng Sunan.
Pemanahan hanya berbisu diri.
“Menggendongnya saja belum Kanjeng Sunan Kalijaga,” sahut Nyai Sabinah.
Sunan Kalijaga hanya tertawa mendengar sahutan Nyai Sabinah yang masih lemas terbaring di tempat tidur itu.
“Boleh aku gendong Nini?” tanya Sunan Kalijaga kepada Nyai Sabinah.
Nyai Sabinah hanya menganggukkan kepala.
Sunan Kalijaga angkat bayi itu dengan pelan agar tidur lelap bayi itu tetap terjaga.
“Kalian berdua tahu?” tanya Sunan Kalijaga mengawali wejangannya, “Kedua telapak tangan bayi ini menggenggam karena apa? Karena bayi ini masih ingin menggenggam janjinya kepada Gusti Allah menjadi manusia yang baik bagi nusa dan bangsa. Betapa pedih hati bayi mungil ini jika mengetahui janji itu pergi. Nah, agar janji itu tidak lepas atau lupa, kau Pemanahan, adzani anak ini sambil membuka kepalan tangan kanan kemudian iqomah sambil membuka kepalan tangan kiri.”
Sepi kembali menyayat.
Pemanahan kemudian mendekat Sunan Kalijaga.
“Kanjeng Sunan saja yang melakukannya. Hamba kurang mampu,” jawaban Pemanahan atas wejangan Kanjeng Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga kemudian mengangguk perlahan.
Angin kembali berdesir mengibaskan gorden yang menyibak di kanan kiri jendela itu. Semua kejadian itulah yang menjadi pertanda bahwa takdir itu ada dan mengikat putera Pemanahan. Pikiran Kyai Pemanahan kini beralih ke kakak iparnya dan bertanya-tanya sedang apa dia di selatan?
Desa Mangir.
Sunyi bila menggambarkan suasana alam di sekitar Mangir, ujung hutan Mentaok yang rawan bagi pedagang, dan para perawan. Dulu hutan inilah yang menjadi saksi adanya orang bernama Ki Ageng Pasingsingan beserta murid didiknya yang menjulang tinggi ketenarannya di wilayah ini.
Awan melintasi di atas lahan persawahan milik penduduk Mangir. Hitam pekat mendung itu. Empat pasang mata saling melirik dengan mata ayam. Angin pun serasa membawa suasana segar-segar hangat. Nyiur pohon kelapa di seberang persawahan bergoyang dengan nyamannya.
“Cakra Manggilingan merupakan ilmu tua dari Kerajaan Majapahit. Suatu ilmu yang bisa memutar balikkan waktu dan tempat. Cakra adalah roda, manggilingan adalah kehidupan. Kau mampu melenyapkannya?” tanya seseorang berpakaian serba hijau.
Agaknya orang yang dimintai jawaban itu terpojokkan dengan pertanyaan itu.
Angin kembali menggoyahkan keteguhan hati Mandaraka. Tangannya tak bisa lepas dari mengusap-usap ikat yang dikenakannya. Pemuda yang berusia kepala tiga itu menimbang-nimbang segala kegundahan hati.
“Ajarkan aku Paman Mangir!” tegas Mandaraka, “aku siap melenyapkannya!”
Tanah yang dipijak oleh Ki Ageng Mangir dan Mandaraka seakan-akan tak mampu lagi menjadi pijakan bagi kedua orang itu. Petir yang menyambar-nyambar itu kian menjadi. Suasana tanah Mangir seperti digulung ombak di pesisir kidul.
Beberapa ekor burung gagak melintas di atas tanah Mangir sambil memamerkan sayatannya mereka yang mereka angap indah dan merdu itu. Namun dibenak dua orang yang tengah mengamati keadaan itu sayatan itu mengusik hati mereka sebagai manusia. Terekam kembali ke dalam ingatan dalam benak kedua orang itu.
Konon, sayatan gagak itu pertanda akan kematian atau hal buruk lainnya. Bila di laga perang sayatan itu memberikan kekuatan magis yang merontokkan nyali prajurit. Para prajurit itu menimbang bahwa ajal mereka telah di ujung tanduk dan bila mana benar terjadi, tubuh mereka akan menjadi ganjal perut bagi binatang buas.
“Kau lihat petir yang sekali-sekali menyambar itu?” tanya Ki Ageng Mangir meredam ketegangan.
Mandaraka memperhatikan kembali dalam pusatan olah kanuragan alam bawah sadar untuk melihat energi sebesar mana yang dihasilkan oleh petir-petir itu. Matanya jelas menggambarkan minat.
“Salah satu sahabat ku dahulu, pernah bercerita bahwa dirinya berhasil menangkap petir di atas pohon,” lanjut Ki Ageng Mangir setelah menarik nafas panjang.
Mandaraka merasakan bahwa bulu kuduknya berdiri. Kembali Mandaraka mengenali seseorang yang amat sangat di kenalnya, Kyai Ageng Selo.
“Dalam tubuh kita terdapat elektron-elektron yang aktif, setiap kita membangkitkannya dalam alam bawah sadar, elektron itu bertumpu pada satu titik, dimana yang menjadi perhatian kita. Begitu juga dengan Ki Ageng Selo, dirinya telah membangkitkan alam bawah sadarnya untuk menyangkal getaran negatif itu merambat dalam tubuh kita,” tutur Ki Ageng Mangir.
Angin kembali berhembus.
“Kita sebagai manusia seperti titisan Brahma atau Syiwa yang menguasai alam ini. Kita diberi anugerah untuk mengelola alam dengan kemampuan kita. Dan kita juga harus menyeimbangkan dunia itu dengan kekuatan batin kita. Olah Kanuragan ialah ilmu yang digunakan manusia untuk menyeimbangkan dunia menggunakan sumber daya alam di bumi ini. Mulai dari ilmu yang mbis-mbisen hingga sundul langit,” lanjut Ki Ageng Mangir.
Mandaraka sibuk mengamati wajah Ki Ageng Mangir yang kaya ilmu itu.
Ki Ageng Mangir memutar tubuhnya menatap sebuah bayang yang semu.
“Aku terlalu tua untuk mengajarinya kepada mu, tubuhku renta untuk sebuah gladi yang membutuhkan tenaga besar. Cakra Manggilingan adalah ilmu pamungkas trah Mangir yang paling banyak menguras tenaga. Wanabaya anak ku belum sempurna mengusai ilmu ciri khas kanuragan Mangir.”
Orang tua itu menitikkan air mata. Sebaliknya, Mandaraka sedikit merasa aneh ketika bulu kuduknya berdesir.
“Aku mencoba mendekat kepada Sang Hyang Widdi, jika inilah waktu yang tepat untuk menyerahkan raga ini keharibaanNya. Aku merasa kau orang yang tepat untuk belajar ilmu ini dengan maksimal dengan penuh konsentrasi. Agar kau bisa menyatukan beberapa ilmu pamungkas berbahaya bagi perkembangan zaman. Aku berada di belakang mu Mandaraka bersama Sang Hyang Widdi,” ucapan yang keluar dari mulut seorang tua tersebut.
Mandaraka tidak bisa menyembunyikan sebuah alasan mengapa dirinyalah yang harus disinggahi takdir aneh itu. Matanya sayu berkaca-kaca, rambutnya yang acak-acakan itu kembali beracak. Namun, ikat yang dipakainya tetap seperti semula tanpa ada sesuatu yang berubah.
Mencoba melintasi waktu yang ada, sebuah perputaran waktu yang aneh. Waktu adalah anugerah dari Tuhan Yang Esa tapi kenapa juga manusia tetap saja diberi kekuasaan untuk mengelola waktu itu menjadi berharga. Waktu aneh, dimana mimpi dan nyata seperti tidak ada bedanya. Seuah waktu yang menjadi titik balik peradaban manusia di bumi.
Tidak jauh berpaling dari tempat bernama Mangir itu.
“Adi Trenggono!” ucap Sengguruh dengan tegas.
Membisu dengan semua kata yang pernah dirinya ketahui.
“Kau tuli?” tanya Sengguruh.
Trenggono hanya bisa menggeleng tanpa sebuah hawa nafsu untuk menjawab dengan dua atau beberapa kata dalam kalimat. Geleng itu pun tanpa lemah, seperti kepala tertiup angin atau barang kali orang itu mencoba menghilangkan rasa kantuk yang menyebabkan dirinya tertunduk sebagai jawaban atas “Ya.”
“Kau sudah tua untuk umur remaja mu yang aneh Adi. Kau sudah dewasa, sudah mampu berfikir bagaimana hidup sebagai umat dari Nabi Muhammad seperti yang diajarkan oleh nabi besar itu kepada umatnya,” lanjut Sengguruh membuka sebuah lembaran kisah tentang jati diri Trenggono.
“Kau terlalu bodho untuk umur mu yang tua ini Adi. Aku sebagai kakak kandung mu mengerti rasanya rindu itu menyelimut dalam hati kecil mu. Aku ada disini, karena kita adalah keluarga dari Ayah Adipati Terung. Aku rindu kepada adik semata wayang ku yang hilang ditelan bumi entah beberapa tahun yang lalu.”
Angin berhembus pelan dengan sebuah irama yang mendesirkan barisan dedaunan yang berderet rapi di dahan pohon. Bergerak indah kesana-kemari mengikuti laju sebuah irama angin yang indah. Gesekan yang merdu itulah yang membuat suasana yang cengeng itu semakin larut.
“Aku adalah kakak mu yang kau tinggal di rumah begitu saja dengan kasar. Aku kemudian diambil oleh Paman Wanasalam di Demak untuk menjadi teman dalam bermain adu tombak, adu perang tanding. Dikala aku perang itulah bayangan kemampuan mu dalam berolah kanuragan kembali mengenang, aku seperti kangen dengan sosok yang imut mengemaskan yang dulu bermain kejar-kejaran di halaman rumah.
“Ayah selalu marah melihat mu menangis terjatuh karena aku mengajak mu kejar-kejaran. Ibu sayang kepada anaknya selalu itu ibu yang cerita. Ibu membela mu jika ayah marah kepada mu karena sebuah masalah. Ibu mu selalu meninang mu jika kamu ingin tidur. Aku sendiri sayang kepada adik ku. Aku kangen setelah beberapa tahun kau hilang ditelan bumi. Dari utara Jawa hingga tepian selatan ini,” lanjut Sengguruh sambil mrebes mili.
Bergetar hebat tubuh Raden Trenggono.
Angin begitu sejuk menidurkan dongeng sebelum bobok itu di telinga Trenggono.
“Selama bertahun-tahun itu rupanya aku tertidur oleh waktu yang bodoh. Aku belajar dari sebuah kesalahan dalam sejarah hidupku. Aku tertuntun karena aku selalu dibuntuti oleh sesosok orang tua yang aneh itu. Aku tak tahu harus melangkah kemana, hidupku habis termakan perjalanan yang penuh garam ini. Seeokor beruk yang bodoh pun pernah merasakan betaba asinnya rasa petikan buah kelapa di pucuk pohon.
“Aku tidak tahu harus kembali melalui jalan apa. HidayahNya menuntunku untuk kemari demi sebuah tirakat yang belum tentu bisa terlampaui oleh manusia yang awam. Aku menangis di atas pelepah daun pisang dimana tempat kepala ku ini bersujud. Aku makan pun tidak hingga kini. Bertahun-tahun lamanya aku tidak merasakan suapan kasih seorang ayah dan ibu yang menuntunku dari bayi.
“Dan aku adalah aku yang saat ini. Apapun yang Kakang lihat dari ku, inilah aku yang sekarang. Aku yang kurus dan lusuh karena bandelnya diriku.”
Trenggono tetap saja dengan sikapnya yang aneh dan agak bodoh itu. Rambutnya yang terurai kusal itulah yang menjadi tanda dirinya tidak pernah mengurus diri. Rambut yang terlalu panjang sebagai seorang pria, yang terlalu gimbal untuk seorang yang edan. Bahkan seperti telihat tak pernah dikeramasi dengan dedaunan yang wangi dan berkhasiat.
Diam adalah emas menurut Trenggono kali ini. Entah komentar apa yang akan keluar dari mulut Sengguruh yang sedang termenung mendengar sebuah kalimat-kalimat yang terucap dari mulut Raden Trenggono.
Angin kembali menggetarkan ruang yang berada di sekitar mereka berdua. Angin yang cukup kencang daripada yang tadi. Angin yang begitu haus untuk mengobrak-abrik sekumpulan dedaunan yang terjatuh di tanah untuk kembali melayang di ruang bebas.
“Assalamu’alaikum,” ucap sesosok tubuh yang berlahan turun dari dahan pohon.
“Wa’alaikum salam Warahmatullah,” jawab kedua saudara itu.
Perlahan angin yang berhembus sepoi itu mengantarkan langkah orang yang berucap salam tadi ke kedua saudara yang sedang mengumbar cerita-cerita di masa lampau, cerita sejarah tentang kehidupan kekeluargaan yang sakinah dahulu.
Tubuh tua yang termakan usia. Jiwa yang selalu haus dengan petualangan kehidupan yang liar dan aneh. Mengenal waktu pun tidak, bahkan jika bisa seumur hidupnya ingin berputar-putar tujuh kali mengelilingi Jawadwipa.
Adalah angin yang menjadi kendaraan pribadinya. Kedekatannya dengan Yang Maha Kuasa membuat dirinya seakan memiliki ilmu yang tanpa batas. Dirinya seakan bisa terbang bebas di angkasa layaknya burung-burung yang terbang melayang meskipun dirinya tak memiliki sayap sekalipun.
“Kanjeng Sunan Kalijaga!” seru keduanya hampir saja bersamaan hanya selang beberapa detik saja keterkejutan itu melanda di hati mereka berdua.
Seperti kebiasaan orang awam yang melihat sesosok orang yang dekat denganNya selalu saja tangan orang yang dekat denganNya itu menjadi sasaran untuk disalami. Begitu juga dengan Sengguruh dan Raden Trenggono. Melihat sosok yang dikenalnya, Sunan Kalijaga, maka dengan lintah keduanya menghampiri tangan kanan Sunan Kalijaga.
Setelah puas keduannya dengan kesibukan itu sesegeralah mereka menempatkan diri mendampingi Kanjeng Sunan Kalijaga.
“Angin ternyata tak henti-hentinya memerhatikan kami,” ucap Sengguruh dengan kekaguman.
Sunan Kalijaga hanya memanggut-manggut.
Mata ayam Kanjeng Sunan Kalijaga terus saja melirik tajam dimana letak hati dari Raden Trenggono. Lirikan mata ayam itu beredar ke kepala Trenggono hingga singgah di kedua mata putra Raden Husain itu. Dengan tajam pula Kanjeng Sunan Kalijaga memperhatikan kelopak mata yang bergerak kesana-kemari itu.
“Anak Mas Trenggono, Anak Mas Sengguruh,” panggil Sunan Kalijaga.
Keduanya dengan sigap segera menempatkan diri dihadapan Sunan Kalijaga.
“Setelah sekian tahun lamanya Anak Mas berdua jauh dari Terung. Apakah kalian berdua tak merasakan kerinduan yang dalam kepada tanah dimana kalian berdua dilahirkan di dunia ini? Sejenak saja berada disana kalian pasti merasakan rasa yang dulu sempat menyelimuti kalian berdua,” lanjut Sunan Kalijaga.
Entah mengapa, wajah kedua putera Raden Husain ini berbinar-binar mendengar kata “Terung” disebutkan dengan nada yang meyakinkan.
Sengguruh menempatkan kedua tangannya yang berhimpitan itu di antara mulut dan hidung, isyarat memohon izin berbicara.
“Bagaimana rasanya Kanjeng Sunan?” tanya Sengguruh.
Sunan Kalijaga kembali memejamkan mata selagi melirik kedua sepasang mata kakak beradik itu.
Angin-angin aneh itu kembali hadir di antara mereka bertiga. Berputar serus menerus mengelilingi tubuh mereka bertiga. Pusaran angin yang terbentuk itu seakan-akan melindungi mereka bertiga dari sebuah hujan anak panah yang menyerang. Namun, setelah bayangan kanan kiri semakin rusak karena angin yang mengalangi penglihatan mereka dengan debu-debu.
“Dunia ini tak ada yang tak mungkin. Semua yang akan terjadi di dunia ini adalah takdir, dan inilah jalan takdir kalian ke depan, aku disini hanyalah sebagai lantaran Allah swt untuk memindahkan takdir itu ke tangan kalian berdua demi sejarah,” ucap Sunan Kalijaga dalam keheningan angin yang perlahan mengecil itu setelah menjadi sejadi-jadinya.
Tanah Terung
Debu-debu yang mengepul tersapu angin bergerak berkeliaran di sekitaran kampung. Langkah kaki pun selalu diikuti dengan kepulan debu yang beterbangan di belakang langkah kaki. Meski tidak berlari pun debu masih saja mengikuti langkah kaki itu.
Pohon-pohon rindang sepertinya telah mati diburu paceklik berkepanjangan. Tanah gersang tidak ada setetes air pun yang menetes dari atas. Kota kadipaten Terung yang mati.
“Terung?” letup Raden Trenggono.
Terbelalak mata Reden Trenggono melihat kampung halamannya yang telah sekian tahun lamanya ia tinggalkan, kini telah menjadi ladang yang gersang. Apakah hanya Raden Trenggono saja yang terbelalak melihat tanah Terung? Raden Sengguruh pun sedemikian terkejutnya melihat suasana kota Terung yang mengenaskan.
“Ya, inilah kampung halaman kalian. Terung namanya!” kata Sunan Kalijaga.
Betapa tampak raut muka dari kedua putera Raden Khusen menjadi murung tujuh kepurung. Sedih bercampur cemas serta kangen melebur dalam satu kesatuan. Meski berbeda sifat, dari semua itu mampu menciptakan rasa yang begitu mendalam. Namun keduanya sadar akan adanya sesuatu dibalik semua itu.
Sebuah cerita di suatu ketika tanah itu adalah penghasil hasil bumi yang melimpah dan memenuhi gudang pangan dari Kerajaan Majapahit. Pasar-pasar di kota Trowulan dipenuhi oleh hasil garapan yang telaten dari petani tanah Terung. Mungkin saja makanan yang diolah di dapur Kedaton pun juga hasil dari tanah yang menjanjikan itu.
Sebuah tempat yang subur di bantaran kali Bengawan Terung yang menuju pelabuhan Ujung Galuh. Saluran-saluran irigasi dari kali itulah yang menjadikan tanah Terung menjadi kian subur di dalam bidang agraris, dimana setiap penduduknya bermata pencaharian sebagai buruh tani di sawah-sawah yang bergelimpang ruah.
Setelah beberapa tahun berlalu dan gonjang-ganjing konflik keluarga keraton, hasil bumi dari Terung dialihkan ke Pengging. Namun, itu pun tidak berjalan dengan lama dan mulus. Konflik politik kerabat kerajaan itu membuat penduduk Terung banyak yang pindah ke Pengging. Datangnya sungkem Raden Khusen dari Palembang ke Prabu Brawijaya, maka dipilihkan Terung menjadi tanah perdikan dibawah kekuasaan Adipati Terung.
Namun, sejalan dengan bergulirnya waktu yang terus saja berputar mengelilingi peradaban manusia, tanah Terung yang dahulu kaya hasil buminya sekarang habis kering kerontang tanah subur itu. Manusianya pun juga ikut hanyut terbawa arus kering dari tanah ini.
“Waktu adalah salah satu bukti kekuasaanNya. Namun, waktu bisa saja berjalan mundur berlawanan kodratnya jika Allah menginginkannya. Disinilah aku ditempatkanNya sebagai tangan kanan kekuasaanNya untuk menyelesaikan permasalahan ini. Aku beberapa kali ditemui oleh seseorang yang tak ku kenal disetiap takarufku, dan aku diberikannya tugas sebagaimana kali ini,” ungkap Sunan Kalijaga sambil menepuk pundak kedua putera Terung.
Raden Sengguruh dan Raden Trenggono tercengang mendengar perkataan dari salah satu anggota dewan Wali Songo itu. Butuh beberapa selang waktu untuk menepis rasa su’udhon kepada waliyullah itu. Bukan tanpa maksud tertentu bagiNya untuk kekhalifahan manusia di dunia ini, seperti pula apa yang diungkapkan oleh Sunan Kalijaga itu.
“Aku ingin lihat tanganmu Anak Mas Trenggono,” permintaan Sunan Kalijaga.
Tanpa rasa ragu, Raden Trenggono memberikan tangannya untuk dipegang oleh Sunan Kalijaga. Diusap-usapnya telapak tangan Raden Trenggono oleh Sunan Kalijaga.
Satu kejadian di luar akal maupun dugaan dari manusia lain. Di telapak tangan Raden Trenggono secara tiba-tiba muncul semburat cahaya kebiruan yang sangat menyilaukan. Bagaimana mungkin di dalam tubuh manusia terdapat sumber cahaya, hal yang menjadi mustahil dalam sifat yang dimiliki manusia.
Tidak hanya sampai di kejadian itu. Setelah meredupnya cahaya kebiruan yang menyilaukan itu di telapak Raden Trenggono tertatto sebuah simbol yang aneh. Simbol apakah yang ada di tanggan Raden Trenggono?
Sunan Kalijaga masih memegang telapak tangan Raden Trenggono bertanya,“Kau tahu apa ini Anak Mas?”
Dengan rasa penasaran yang berlebih, putera Terung itu menjawab sesuatu.
“Apakah ini rajah Nalacakra, Kanjeng Sunan?”
Raden Sengguruh yang mendengar nama rajah Nalacakra disebutkan adiknya bertambah bingung dalam suasana itu. Tangan kanan Sengguruh pun mulai menggaruk-garuk kepala, seolah-olah banyak tumo yang membuat sarang di rambutnya.
“Kau tahu, berarti kau tahu apa tugasmu selanjutnya tanpa harus mulutku ini menjelaskan sebuah hal yang menurutmu adalah basa-basi semata. Kau harus menemani Mandaraka dalam sebuah misinya, dan aku tidak mempunyai urusan membuat takdir baru dalam hidupmu.”
Tenggorokan orang tua itu merasakan kehausan yang berlebih hingga ia harus menelan ludah yang mengganjal di mulut untuk sekedar memberikan rasa cair dalam keringnya kerongkongan.
“Sengguruh!” panggil Sunan Kalijaga selagi melepas tangannya yang memegang tangan Trenggono.
Raden Sengguruh pun mendekati orang tua yang merupakan bagian dari dewan Wali Songo itu.
“Dan takdir tanah yang menjanjikan inilah untuk mu. Ingat! Kau adalah putera Raden Khusen di Terung dan Kau adalah ayah Anak Mas Trenggono. Kau bukan lagi memiliki adik Raden Trenggono tapi melainkan kaulah ayahnya.
“inilah tanah dimana bumi sejuk Terung akan kembali terlahir di bantaran kali Bengawan Terung. Sebuah tanah perdikan yang diberikan oleh Prabu Brawijaya V untuk Raden Khusen dari Palembang. Sebuah tanah yang subur, kelolalah kembali menjadi khalifah di tanah ini. Menjadi manusia yang berakhlaq luhur cinta kepada nabiNya percaya akan kekuasaanNya itulah hakikat khalifah.
“Kenakanlah sebuah cincin ini di jari kelingking tangan kirimu. Inilah bukti akad dari berputarnya waktu sesuai kodratnya. Inilah takdir kekuasaanNya.”
Angin padang gersang bertiup pelan, mengudarakan debu-debu yang bersemayam. Seolah-olah inilah bukti kekuasaanNya disamping para waliyullahNya yang menjadi khalifah di tanah Jawadwipa ini. Debu yang mengepul inilah saksi bisu semua itu kembali ke kodratnya.
Awan-awan putih mengambang di udara seperti kapas yang tertiup angin. Warnanya putih keabu-abuan dengan sekat-sekat hitam yang menggulung seperti rangkaian ombak di pesisir pantai utara tanah Jawadwipa ini. Sesekali cahaya yang berkilau mencuat diantara sekat-sekat hitam tersebut.
Angin yang bertiup kencang di udara, menggerakkan rangkaian awan putih keabu-abuan dengan sekat hitam yang sesekali cahaya muncul diantaranya menuju puncak Gunung Kampud yang berada tak jauh dari tanah Terung. Semakin dekat!
Satu persatu percikan air itu turun dari langit. Begitu pelan dan lembut, merasakannya seperti ingin menari di atas panggung yang atapnya terbuka. Begitu segarnya air yang menetes dan kemudian terjatuh di antara dua telinga, kanan dan kiri. Kembali mengenang kembali seperti bocah kecil yang dibesarkan di pedesaan yang asri.
Lama kelamaan gerimis itu kian menjadi. Semakin kencang dan lebat sesekali angin bertiup menggerakkan arah jatuh air yang menjadi sebuah gelombang yang indah. Bocah kecil yang menari di atas panggung terbuka itu merasakan kedinginan dan basah kuyup. Ibunya sesekali berteriak agar bocah itu segera pulang ke rumah.
Inilah yang terjadi bantaran kali Bengawan Terung yang sejuk itu. Hujan mungkin rindu akan tanah yang dahulu subur itu. Kini dia datang kembali untuk mengobati rasa rindu berlebih itu dengan menuangkan seluruh muatan air yang dibawanya untuk dinikmati oleh tanah yang merindukan air itu.
Air yang menghujani tanah Terung tersebut kemudian mengalir mengikuti lekuk-lekuk tanah yang menurun itu. Turunan tanah yang siap menuju kali Bengawan Terung yang arusnya deras. Kali-kali kecil terbentuk disekitaran pasir delta sungai tersebut. Saluran irigasi pun penuh dengan tumpah ruah air yang mengalir.
Petir sesekali menyambar, mencuatkan cahayanya yang berkilau di antara sekat-sekat hitam di mendung itu. Sesekali bayangan bocah yang berlari ke arah ibunya itu terlihat jelas dari cuatan kilat itu. Kemudian disusul suara bergemuruh sangar, yang menggelegar di langit Terung.
Sunan Kalijaga, Raden Sengguruh dan Raden Trenggono berbasah kuyup menikmati hujan yang begitu indahnya. Berbeda dengan yang lain, Kanjeng Sunan Kalijaga masih tetap istiqomah dengan lantunan merdu detak biji tasbih yang saling bertubrukan satu sama lain, menikmatinya dengan suatu lafal yang terus saja diucapkan samar-samar di bibir indahnya.
“Shollallahu ‘ala Muhammad,” dzikrun nabi yang di lafalkan Kanjeng Sunan Kalijaga meski masih sempat dari bibir yang keriput itu mengucap dengan keras lafal “Subhanallah wal hamdulillah wa la ilaha illallah.”
Raden Trenggono sesekali menyampatkan melirik bibir Kanjeng Sunan Kalijaga, dengan penuh minat. Sesekali pula menyempatkan melirik biji tasbih yang terus berputar di tangan waliyullah itu. Berputar seperti kodratnya kehidupan, terkadang ujung pangkal tasbih yang oleh Kanjeng Sunan diberi tanda dengan ikatan simpul yang mengikat kayu gahru, berada di bawah terdadang pula ujung itu berada di atas.
Berbeda dengn Raden Sengguruh, kini ia kembali mengingat masa dimana terakhir kali menginjakkan kaki di tanah Terung. Sekarang dirinya dipanggil kembali oleh tanah yang diberikan oleh Prabu Brawijaya V kepada mendiang Raden Khusen sebagai Adipati Terung II. Namun, sekarang ia mulai merasakan suatu hal yang aneh terhadap dirinya.
Telah menjadi suatu kebiasaan dari alam, ketika selepas hujan lebat turun membasahi bumi, giliran kabut tipis mengantikan suasanya yang penuh dengan kesegaran yang dingin. Kabut perlahan-lahan mulai menutupi jarak pandang indera penglihatan manusia yang berupa mata dalam bentuk yang nyata. Namun, kehadiran kabut kali ini bagi penglihatan yang lain yakni cara manusia memandang suatu kejadian alam menggunakan bathiniyyah atau menggunakan mata batin, menunjukkan suatu kejanggalan.
Raden Sengguruh merasakan bulu kuduknya merinding, bagaimana tidak bila dihadapannya terdapat bayangan yang terselimuti kabut, berupa bayangan wanita yang menggendong bayi dan satu anak yang berusia lebih tua dari yang digendong. Raden Sengguruh kembali mengingat kejadian dimana bertemu seorang petani yang aneh di ladang sawah bersama kawan petaninya. Sebelum meninggalkan desa Selo di kaki Gunung Merapi, Raden Sengguruh meminta izin kepada isterinya untuk pergi ke kota Pengging. Namun, kini dihadapannya begitu samar-samar mirip dengan isterinya dan kedua anaknya yang berada di Selo.
Lain Raden Sengguruh lain pula bagi Raden Trenggono, dirinya merasakan kekuatan batin yang sangat kuat, sangat-sangat kuat. Ia merasakan bahwa pakaian yang dikenakan dan iket yang menutupi ramputnya itu terasa tidak pas ukuran tubuhnya, agak terlalu besar bagi dirinya. Meski demikian, Raden Trenggono lebih tahu ketimbang ayahnya, Raden Sengguruh.
“Paman Kalijaga,” keluh Raden Trenggono.
Waliyullah yang bernama kecil Raden Mas Syahid menoleh kearah Raden Trenggono yang menarik-narik lengan surjannya. “Kenapa Anak Mas?” tanya Kanjeng Sunan Kalijaga dengan nada lembut.
“Kenapa Trenggono bertambah besar ya? Pakaian yang dipakai Trenggono rasanya tidak muat di badan Trenggono,” keluh Raden Trenggono.
Sunan Kalijaga sempat tertegun mendengar keluhan yang aneh tersebut.
Woo, lha kowe cen ki bodho!” jawab Kanjeng Sunan Kalijaga kepada Raden Trenggono.
Raden Trenggonolah kini yang menjadi tertegun mendengar perkataan yang dilontarkan oleh Sunan Kalijaga kepadanya. Namun, Raden Trenggono mencoba memahami makna dari apa yang dilontarkan oleh Kanjeng Sunan kepadanya. Bagaimana pun juga beliau adalah salah seorang kekasih-Nya di pulau Jawadwipa ini yang tentunya saja perkataannya selalu saja bisa menjadi suatu alamat ataupun rujukan.
Konsentrasi yang mulai terkikis perlahan-lahan, dimana bayangan yang semula muncul itu bergerak kearah Raden Sengguruh. Mulailah lekuk-lekuk tubuh serta geraknya dapat diartikan oleh Raden Sengguruh. Detak jantungnya yang semula cepat kian bertambah cepat.
“Anak Mas Trenggono, mari kita pulang,” ajak Sunan Kalijaga.
Raden Trenggono merasa kebingungan. Namun, lengannya sudah digenggam oleh tangan yang terlihat otot-otot yang menjulang tersebut. Apa boleh buat, Raden Trenggono pun mengikuti ajakan pulang tersebut.
Kabut masih menyelimuti tanah Terung di bawah pemerintahan Adipati Terung II. Sungai Bengawan Terung pun juga merasakan sesuatu hal yang aneh pula, mengapa beban yang disangganya kini kian bertambah berat? Hujan yang turun dengan lebat tersebut membuat debit air yang mengalir di atasnya bertambah banyak. Tanah Terung pun tidak luput dari genangan banjir dari anak sungai Berantas itu.
Lembayung senja kembali bersinar di antara reruntuhan mendung, hujan, dan kabut. Melihat keindahannya, tentu saja membuat tubuh menjadi lebih hangat dari sebelumnya. Beberapa mega menjadi berwarna kemerah-merahan terpantul dari sinar redup sang Bagaskara.
Jatianom, Jawadwipa.
Ngger, siapkan penjamuan di pawon, ada tamu agung yang akan datang ke sini!” perintah Ki Ageng Gribig.
Seseorang yang dipanggil dengan “ngger” oleh Ki Ageng Gribig segera bersendika dawuh dan langsung bergegas menuju dapur. Beberapa temannya pun segera ikut membantu kesibukan yang terjadi di dapur rumah Ki Ageng Gribig.  Mereka setiap kali mendapat perintah dadakan untuk membuat suguhan untuk tamu agung selalu dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang butuh jawaban pasti. Siapakah yang akan bertamu?
Lembayung Maghrib telah berlalu dengan cepatnya. Seolah-olah tak sabar inginnya menjemput waktu isya’ yang berada di depan. Namun, sang waktu harus bersabar dengan kejadian yang akan datang sebelum kumandang adzan isya’ di pondok Gribig. Harus berjalan pelan, sesuai kodratnya.
Suara ketukan pintu depan rumah Ki Ageng Gribig ternyata nyata adanya. Pertanda tamu agnung itu telah datang. Namun, siapakah yang dimaksud oleh Ki Ageng Gribig dengan tamu agung tersebut? Adakah orang tersebut memang agung di tingkat derajad keluruhan dan keimanannya atau orang yang agung di tingkatan takhta angkara?
“Assalamu’alaikum Dimas!” salam orang itu setelah mengetuk pintu.
Adakah tanggapan dari makhluk di dalam rumah?
Suara deret pintu terbuka pun terdengar. Ki Ageng Gribiglah yang telah membukakan pintu rumahnya sendiri itu. Terlihat satu orang tua dan satu anak. Siapakah mereka?
“Mari masuk kakang,” Ki Ageng Gribig mempersilakan.
Kedua tamu itu pun mulai melangkahkan kaki di rumah Ki Ageng Gribig. Setelah beberapa depa melangkah, kedua tamu itu dipersilakan duduk di tikar yang telah disiapkan sebelumnya. Seperti apa yang pernah diperintahkan oleh Ki Ageng Gribig kepada santrinya sore tadi.
Tak berapa lama kemudian, salah satu santri Ki Ageng Gribig segera keluar dari pawon guna mengantarkan secangkir teh hangat kepada tamu agung yang disebutkan tadi.
“Gerangan apakah yang mengantar Kakanda Kalijaga untuk mampir di gubug dimas?” tanya Ki Ageng Gribig.
Siapakah tamu yang berkunjung di rumah Ki Ageng Gribig? Sunan Kalijaga dan seorang anak. Siapakah anak tersebut? Para santri yang berada di pawon kembali mengepul, mengepul tentang siapa yang menjadi tamu agung itu, dan siapakah anak disampingnya itu.
“Kau tahu siapa anak ini, Wasibagno?” tanya balik Sunan Kalijaga bukannya menjawab.
Ki Ageng Gribig mencoba mencermati lekuk-lekuk tubuh dari anak tersebut siapa kira mungkin ada bagian yang menunjukkan sebuah tanda anak siapakah yang berada dihadapannya kini. Tanda yang mungkin saja ia kenal dari salah satu guru atau sahabat lama yang setelah sekian lama tidak pernah bertemu.
Setelah beberapa jenak Ki Ageng Gribig mengamati, “mohon maaf Kanda, dimas luma dengan beberapa sahabat dimas, jadi dimas sulit untuk tahu dari marga siapa anak yang Kanda Kalijaga bawa sekarang ini.”
Sunan Kalijaga tampaknya tahu kesulitan yang dialami oleh Ki Ageng Gribig sehingga manggut-manggut tergambar jelas dari gerak Sunan Kalijaga.
“Ini adalah Raden Trenggono cucu Anakmas Khusen di Terung,” Sunan Kalijaga memper-kenalkan kliennya.
Ki Ageng Gribig harus memutar otaknya yang berada di dalam lapisan tempurung itu. Maklum saja jika orang tua ini harus memeras ingatannya tentang sahabat-sahabatnya dahulu. Tentang kenangan dimasa kala kanuragan miliknya adalah tak terkalahkan. Tentang sebuah masa ketika masalah perpolitikan Majapahit di ujung pengunungan Seribu yang membentang di selatan Jatianom.
“Anakmas Arya?” tanya Ki Ageng Gribig menyebutkan sebuah nama yang tidak lengkap.
Sunan Kalijaga menjawabnya dengan senyum yang terbalut kumis tebalnya. “Arya Damar, Dimas,” Sunan Kalijaga membetulkan sebuah nama yang keliru dari Ki Ageng Gribig.
Beberapa tabuh waktu, kumandang adzan Isya pun tergema di bumi Jatianom. Satu per satu bayangan merah yang mengisahkan tentang kehidupan matahari hari ini pun berganti menjadi gelap. Tikus-tikus mulai berjalan angkuh di lorong-lorong jalan yang membela tanah Jatianom. Beberapa santri dari Ki Ageng Gribig pun ikut andil dalam mengisi lorong-lorong perkampungan itu.
Angin berjalan dengan lembut di tengah padang hutan yang dibuka untuk perkampungan. Selimut dingin dari helai-helai kabut yang mulai turun dengan biasnya menyuguhi para tamu dengan suasana alam yang dingin. Sesekali terdengar bergeseknya dedaunan rimbun di ujung kampung. Suara yang menyeramkan bagi anak-anak yang bermain riang.
Obor yang membara dengan apinya yang menyala-nyala mencoba menerangi sebuah lorong jalan menuju sebuah tempat peribadatan pemeluk agama yang dikata dari langit itu. Lidahnya menjilat-jilat udara sekitar dengan penuh bara yang panas, meski panas itu harus tercuci dua puluh tujuh sungai sebelum dirinya turun sebagai panas di bumi. Terkadang terang, terkadang pula surut cahayanya untuk menyinari lorong tersebut.
Bayangan Raden Trenggono terpaksa harus berganti-ganti gelap terang beserta panjang-pendek tubuhnya. Berjalan pula pada bayangan itu seperti orang yang sedang mabuk karena obor itu mata apinya selalu berubah-ubah kesana-kemari sesuka hati. Bayangan itu kini hilang namun berganti dengan banyaknya bayangan tubuh Raden Trenggono yang lain.
Tidak terkecuali bulan yang bersinar pada malam itu dengan sinarnya yang belum kiranya sempurna. Tampak pula langit malam bersih tanpa satu kelebat awan cirrus yang menghias seperti kala biasanya. Rasi-rasi perbintangan pun tampak jelas terlihat dengan mata telanjang, karena satu bintang dengan bintang lainnya seperti membentuk suatu susunan yang seperti menjadi ilmu perbintangan.
“Sebuah kehidupan yang sulit harus kau tempuh Mandaraka,” nasihat Ki Ageng Mangir kepada Mandaraka.
Mandaraka memunculkan raut muka yang bertampang sedih, seolah-olah melihat di depan matanya berdiri tiga buah gunung yang tinggi-tinggi.
“Jika kau adalah air, mengalirlah secara kodratnya menuruni tempat yang lebih tinggi. Satu ilmu kanuragan yang kau genggam sekarang adalah ilmu kanuragan yang paling tua, jika kau mampu menakhlukkannya, gunung yang menjulang di Perapen itu pun akan mampu kau genggam.”
Mandaraka menyiapkan sebuah gerakan membentuk lingkaran yang berdiameter kuda-kuda yang ia buat sebelumnya. Menuruni alam bawah sadar seperti air yang mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah dan mulai memasuki lingkup paling sulit dalam hatinya yang bergolak penuh emosi.
“Takhlukkan apa yang menjadi pikiran di hatimu, rasakan bahwa kau menginginkan sesuatu tentang kehidupan lain, satu kehidupan yang berbeda dengan keadaanmu sekarang.”
Mulailah Mandaraka merasakan air itu mengalir dengan lembut dan pelan menuruni otaknya melalui syaraf-syaraf yang membangun tubuhnya. Selagi tetap penuh berkonsentrasi dengan pemusatan pikirannya. Hawa yang dirasakan dari ilmu Cakra Manggilingan memutar penuh tubuhnya kedalam pusara kecil.
“Jika kau berhasil, selanjutnya kau harus tahu bahwa sudah tidak mampu lagi aku menandingimu, dan kau harus belajar mandiri ilmu yang menghabiskan setengah dari kesadaranmu itu karena aku tidak ada lagi untuk mu diselanjutnya.”
Pusara angin itu kian membesar dan melalap tubuh yang kekar dari Mandaraka.
“Hush,” suara angin yang melenyapkan Mandaraka dari hadapan Ki Ageng Mangir.
Desingan suara bising yang timbul dari angin itu membuat Ki Ageng Mangir kagum sekaligus memberikan kesan lebih kepada Mandaraka. Tentang sebuah tugas berat dan besar, yang membuat batas normal manusia pada hakikatnya dengan sebuah ilmu kedigjayaan yang selalu dipuja-puja harus dilenyapkan dari permukaan dunia yang fana ini.
Gunung Merapi yang kokoh, tinggi menjulang di utara tanah yang disebut sebagai Mangir bersinar merah jambu di puncaknya, tidak seperti warna darah yang menggumpal kemudian menjadi warna merah yang kusam. Asap yang menggulung tajam dengan kecepatan yang sangat-sangat cepat dan sangat-sangat panas turun dengan mengenyeramkannya.
Perjuangan pertama kali oleh seseorang yang bernama Haruna di puncak Gunung Merapi. Ilmu olah kanuragan khusus dipelajari dengan taat dan terampil oleh Haruna, karena inilah sosok yang akan mendampingi gunung yang mengandung cerita-cerita mistis hingga suatu saat ketika tua kelak.
“Aku mengalami kesulitan untuk meredam magma yang keluar,” keluh Haruna dengan menepisi peluh yang ada di jidatnya. “Huft.”
Hawa panas disekeliling membuat peluh yang semula ada di dalam lapisan kulit menjadi keluar untuk melampiaskan kegembiraannya karena telah bebas dari penjara kecil itu. Wajah Haruna bak seperti banjir peluh.
Angin mengubah arah kepulan asap menjadi membelok dengan tujuan yang berbeda pula.
Kenapa?
Angin itu semakin membentuk suatu pusara yang kian membesar dengan kebawaanya.

0 comments:

Post a Comment