Sunday, September 11, 2011

Al Imam Al Bayhaqi (w. 458 H) dalam kitabnya Al Asma wa Ashifat, hlm 506, mengatakan " Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah adalah mengambil dari sabda rasul "engkaulah adz dzahir (yang segala sesuatu menunjukkan ada Nya), tidak ada sesuatu di atas-Mu dan engkaulah al bathin (yang tidak dapat dibayangkan ) tidak ada sesuatu di bawah-Mu (H. R. Muslim dan lainya ) jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan di bawah-Nya berarti Dia tidak bertempat ".
Sedangkan salah satu riwayat hadits jariyah, hadits Zainab yang dzahirnya memberi persangkaan bahwa Allah ada di langit, maka hadits tersebut tidak boleh diambil secara dzahirnya, tetapi harus ditakwil dengan makna yang sesuai dengan sifat sifat allah, jadi maknanya adalah Dzat yang sangat tinggi derajat-Nya, sebagaimana dikatakan oleh ulama Ahlussunnah wal Jama'ah, diantaranya adalah Al Imam an Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.

Tidak boleh dikatakan Allah ada di atas 'Arsy atau ada dimana mana, senada dengan hadits yang diriwayatkan al Bukhari di atas, perkataan Sayidina Ali bin Abi Thalib, "Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat dan Dia (Allah) sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti semula, ada tanpa tempat" seperti yang dituturkan oleh Al Imam Abi Mansyur Al Baghdady dalam kitabnya Alfarqu Baynal Firaq h. 333). Oleh karena itu tidak boleh dikatakan Allah ada di satu tempat atau dimana mana, juga tidak boleh dikatakan Allah ada di satu arah atau semua arah penjuru.

INGAT, ALLAH SUDAH ADA SEBELUM TERCIPTANYA TEMPAT DAN ARAH, DAN SETELAH ALLAH MENCIPTAKAN TEMPAT DAN ARAH, ALLAH PUN TIDAK BUTUH AKAN KE DUANYA. APABILA ALLAH BUTUH AKAN TEMPAT DAN ARAH, BERARTI SAMA SAJA ALLAH BUTUH MAKHLUK, MAHASUCI ALLAH DARI BUTUH AKAN MAKHLUK. BUTUHNYA ALLAH AKAN MAKHLUK ADALAH MUHAL BAGI ALLAH. "ALLAH ITU ALMUGHNI, YANG TIDAK BUTUH KEPADA SIAPAPUN DAN APAPUN " DAN SIFAT "BUTUH" ADALAH SIFAT CIRI KHAS DARI MAKHLUK, DAN MUHAL BAGI ALLAH BERSIFAT DENGAN PERSIFATAN MAKHLUK.

Syekh Abdul Wahhab Asya'roni (w. 973) dalam kitabnya Al Yawaqiit wal Jawaahir, menukil perkataan Syekh Ali Khawwash : "tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada dimana mana". Aqidah yang mesti diyakini adalah Allah ada tanpa tempat dan arah.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib mengatakan, "Sesungguhnya Allah menciptakan 'arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasan-Nya, bukan untuk menjadikannya tempat bagi dzat-Nya (diriwayatkan oleh Abu Manshur al Baghdadi dalam kitab Alfarq Baynal Firoq hal 333),
Al Imam Abu Hanifah berkata, "Barang siapa yang mengatakan saya tidak tahu apakah Allah berada di langit ataukah berada di bumi maka ia telah kafir" (diriwayatkan oleh Al Maturidi dan lainya).

Shulthonul Ulama' Al Imam Izzuddin bin Abdissalam Asyafi'i dalam kitabnya Hall Arrumuz menjelaskan maksud perkataan Imam Abu Hanifah, beliau Imam Izzuddin mengatakan, "karena perkataan yang demikian (aku tidak tahu allah dilangit atau dibumi), memberikan persangkaan bahwa Allah bertempat, dan barang siapa yang menyangka bahwa Allah bertempat maka ia adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk ciptaan-Nya)." Demikian juga dijelaskan maksud Imam Abu Hanifah ini oleh Al Bayadli al Hanafy dalam kitab Isyaratul Maram.

Al Imam Al Hafidz ibn Al Jawzi (w 597) dalam kitabnya Daf'u Syubhat Atasybih mengatakan, "Sesungguhnya orang yang mensifati Allah dengan tempat dan arah maka ia adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluknya ) dan juga mujassim (orang yang meyakini bahwa Allah adalah jisim/benda), yang orang itu buta dari mengetahui sifat Allah"

Al Hafidz Ibnu Hajar al 'Asqalani (w. 852) dalam kitabnya Fath-hul Bari Syarh Shahihul Bukhari mengatakan "Sesungguhnya kaum musyabbihah dan mujassimah adalah mereka yang mensifati allah dengan tempat padahal Allah maha suci dari tempat" di dalam kitab Al Fatawa Al Hindiyyah, cetakan dari shadir, jilid II, H 259 tertulis sebagai berikut "adalah kafir orang yang menetapkan tempat bagi Allah ta'ala", juga dalam kitab Kifayatul Akhyar, karya Al Imam Taqiyyuddin Al Hushni (w. 829 H), jilid ll, hal 202, cet darl fikr, tertulis sebagai berikut " ... hanya saja An Nawawi menyatakan dalam bab Shifat as Shalat dari kitab Syarhul Muhadzdzab bahwa mujassimah adalah kafir, saya (al hushni) berkata, "INILAH KEBENARAN YANG TIDAK DIBENARKAN SELAINYA, KARENA TAJSIM (MENYERUPAKAN ALLAH DENGAN MAKHLUK,BAIK DALAM DZAT DAN SIFAT,DAN MEYAKINI BAHWA ALLAH ADALAH JISIM-BENDA-) JELAS MENYALAHI ALQUR'AN Q.S ASSYURA 11.

Al Imam Malik berkata "ARRAHMAN 'ALA AL 'ARSY ISTAWA SEBAGAIMANA ALLAH MENSIFATI DZAT (HAKEKAT)NYA DAN TIDAK BOLEH DIKATAKAN BAGAIMANA DAN KAYFA (yg adlh sifat makhluk) ADALAH MUSTAHIL BAGINYA (DIRIWAYATKAN OLEH ALBAYHAQI DALAM AL ASMA' WASHIFAT), maksud perkataan Imam Malik tersebut, bahwa Allah Mahasuci dari semua sifat benda (kayfa), seperti duduk, bersemayam, berada di suatu tempat dan arah dan sebagainya. Sedangkan yang mengatakan wal kayf majhul adalah tidak benar dan Imam Malik tidak pernah mengatakanya.


Imam Ath Tahawi mengatakan "Barang siapa mensifati Allah dengan salah satu sifat manusia, maka ia telah kafir", dia antara sifat-sifat manusia adalah bergerak, diam, naik, turun, duduk, bersemayam, mempunyai jarak, menempel, berpisah, berubah, butuh, berada pada suatu tempat dan arah, berbicara dengan huruf dan sebagainya. Barang siapa yang menyifati Allah dengan sifat-sifat di atas, sungguh dia terjerumus dalam kekufuran ( INI KATA IMAM ATTHAHAWI).

sumber : http://lp-9.blogspot.com/2010/12/tidak-boleh-berkata-dan-berkeyakinan.html

0 comments:

Post a Comment