Suara yang
menggema pelan diiringi terbenamnya mentari di ujung dunia sebelah
barat. Sebuah suasana romantis kami, para pencari Tuhan, dengan sebuah
alam kesibukan yang mengasyikkan. Suatu kesempatam emas kami sebagai
anak kampung yang sukanya pada hal yang diajarkan orang sepuh untuk
kemudian sulit mengulangi kesempatan berharga kami lagi di masa depan.
Mega
yang menggulung kemerahan pekat di ufuk barat menghiasi langkah kami
untuk menuju sebuah bangunan yang dibanggakan orang sepuh di dusun kami.
Sebuah langgar ciut yang berisikan puluhan anak-anak yang
mengeksploitasi ilmu agama di Langgar Al Mujahiddin. Semangat anak-anak
masa lampau yang sulit dilakukan kami di masa kini.
Sarung
berjubel kumuh masih saja benggembol di perut kami, baju lusuh setelah
dipakai sekolah pun masih dipakai mengaji. Peci hitam peninggalan orang
sepuh kami slalu menempel di kepala ketika maghrib berkumandang.
Berbekal satu buku dan satu kitab.
Kami
merasakan Semangat 45 bila Pak Kyai telah rawuh. Berderet di paling
depan sendiri. Ramai pun kami ditegur oleh senior kami. Bandel kami pun
sering kali membuat para senior kesal. Tapi kami bukanlah biangkerok
yang membuat suasana keruh saat sholat dilaksanakan.
Sejalan waktu bergilir dan terus saja menggerus zaman.
Terdengar
suara merdu dari mulut anak-anak zaman lampau ini, "Bada'tu
bibismillah....." ila akhir. Berandai kami memasuki beberapa abad lampau
dimana lampu belum ditemukan. Suasana romantis kami, para pencari
Tuhan. Setelah mukhafadhoh dilanjutkan nadhoman setiap kelas, terdengar
lagi suara keras yang menggelitik namun asyik, "Fa'ala yaf'ulu fa'lan
wamaf'alan..." ila akhir.
0 comments:
Post a Comment