Tuesday, September 6, 2011


Judul postingan yang aneh. Seperti yang diungkapkan oleh seorang Kapita Pattimura, "Mati Satu Tumbuh Seribu." Beberapa kali kata-kata ini terucap dalam pelajaran sejarah di sekolah-sekolah untuk mengenalkan perjuangan bangsa Indonesia mengusir penjajah. Berulang kali pula dan tidak pernah bosan, kata-kata ini seperti transportasi arus mudik-balik yang berlalu lalang di gendang telinga kita.

Beberapa tokoh sejarah menerangkan, gugur satu pahlawan untuk mempertahankan tanah air Indonesia ini maka jiwa-jiwa kepahlawanan itu akan tumbuh di dalam jiwa seribu pemuda Indonesia. Tapi lihatlah kenyataan dari nilai filosofis yang terkandung itu. Anggota DPR-MPR pun tak kan pernah tahu dan mungkin tidak akan pernah tau tentang apa itu "Mati Satu Tumbuh Seribu". Mereka anggota legislatif hanya akan tertarik pada kata terakhir "Seribu" karena uang 1 Triliyun tidak akan menjadi 1 Triliyun bila tidak ada uang "Seribu"

Siang itu (5/9) hanya tengah bersandar di bawah payung atap genting di atas bukit yang tinggi. Sejalan seperti kisah yang lalu "Simbah Guru Kami". Tujuan kami kali ini adalah sebuah makam di daerah Muntilan. Sebuah daerah di luar wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta yang menjadi daerah perdikan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Dimana?
Di Makam Gunung Pring, Muntilan, Jawa Tengah, Indonesia.

Hawa sejuk pegunungan membuat kami tidak pernah lelah menapaki punden berundak yang menuju ke kompleks makam di atas bukit. Jika mau dihitung berapakah jumlah anak tangga menuju atas, silahkan saja, tapi gue males buat ngitungnya. Mendingan foto-foto anak tangga daripada ngitungnya.


Setelah selesai melepas penat di kompleks makam, kami lanjutkan untuk sholat Dzuhur dikarenakan sudah waktunya pula kami harus melakukan kewajiban itu. Dikarenakan tempat wudhu puterinya rusak dan mungkin belum sempat didandani lagi oleh penunggu maka (juru kunci maksudnya). Dan, WOW!!! Kami putera dan puteri harus wudlu di satu tempat yang sama dan jalannya sempit. Alhasil, banya para wanita tua pada mbacot sesuka hatinya. Astaghfirullah.

Seribu masjid di jalan raya membuat kami tidak menjama' maupun mengqodho' sholat Dzuhur. Lagian tempat kami tidak lebih dari 60 dhiro (bener gak) yang salah satu menjadi syarat diqodho' atau dijama'. Sholat Dzuhur selesai, kami lanjutkan apa tujuan sebenarnya ke Gunung Pring. Yups, pembacaan kalimah thiyyibah atau bahasa kerennya Tahlil.

Mereka yang berada di bawah tanah, adalah orang-orang pilihan dari Allah ta'ala sebagai khalifah di masa lalu. Raden Santri adalah cikal bakal dari makam di atas bukit ini. Beliau adalah putera dari Ki Ageng Pemanahan di Mataram. Di sini pula leluhur dari Hadhrotusy Syaikh KH Yasin bin Idris Kombangan dimakamkan. Siapa? Yaitu tadi, Raden Santri. Semoga rahmad Allah selalu ada kepada mereka. Amin allahumma amin.

Meninggal satu ulama, tumbuh jiwa-jiwa ulama di seribu santri. Dan kemudian muncul pula pengganti mereka yang sudah meninggal, para kyai-kyai yang silih berganti. Mereka tidak akan bereinkarnasi menjadi seseorang lagi, mereka akan bereinkarnasi ilmunya. Mereka adalah salah satu garis dari persanadan ilmu di pulau Jawa.

Dan pada akhir doa Tahlil, kami mendengar berita kewafatan KH Achmad Shohibul Wafa Tajul Arifin atau yang dikenal sebagai Abah Anom Suryalaya. Secara kebetulan gue punya perasaan aneh untuk buka handphone gue yang baru saja online facebook, setelah gue refresh, eh, ada berita Abah Anom wafat. Tidak ketinggalan pula untuk kirim Al Fatihah kepada Abah Anom.

Bila Allah ta'ala berkenan, akan ada seribu jiwa santri lagi yang akan meneruskan perjuangan KH Achmad Shohibul Wafa Tajul Arifin. Dan akhir postingan gue ini, akan gue akhiri dengan :

SELAMAT JALAN ULAMA KAMI, ULAMA PARA SANTRI AHLUSSUNAH WAL JAMAAH, MURSYIDUTH THORIQOH QODIRIYYAH WAN NAQSABANDIYYAH ALMAGHFURLLAH HADHROTUSY SYAIKH KH ACHMAD SHOHIBUL WAFA TAJUL ARIFIN RA.

0 comments:

Post a Comment